Senin, 18 April 2011

Jurnal Ekonomi Politik Pembangunan

KETERKAITAN PERSPEKTIF MODERNISASI DAN BERBAGAI STUDI
PEMBANGUNAN SOSIAL
By: Ana Jauharul Islam
(Januari 2008, Volume II, No. 2)
Abstract
Paradigm modernization have ascription that factor change of social very influenced by modernization. Hereinafter view which is in such a way adopted also in idea of sociology that is passing twi classic theory that is and evolution of fungsionalisme. Evolution clan assume that process growth of society as a system which always stay in dynamic balance. Consequence of the idea hance arising strategy development of recognized agriculture with green revolution term. As case of this development of paradigm that is green revolution in rural of Java. Impact which later then arise this approach that is progressively sharply it social stratification between impecunious and rich farmer. Elsewhere that is middle in the East as for modernization the conducted have resulted to discolour him various august traditional values of society genuiness over there.
Keywords: modernization, social change and development strategi, modernization, development strategy

PENDAHULUAN
Para penganut paradigma modernisasi berpihak pada pandangan bahwa perubahan sosial terjadi oleh pengaruh modernisasi yang berkembang dari Barat. Pemikiran modernisasi selalu didasarkan pada peristiwa penting dalam perkembangan masyarakat Barat yaitu Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Politik di Prancis. Akibat revolusi ini telah membawa perubahan-perubahan di dunia baik di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi politik dan kebudayaan. Perubahan-perubahan yang membawa masyarakat pada suatu keadaan yang baru, mewarnai pemikiran tentang proses modernisasi yang terjadi di Dunia Barat. Suwarsono dan Alvin Y.So (1991) mengulas berbagai pandangan para ahli mengenai hal ini dan mengidentifikasi pemikiran mereka yang berkaitan dengan perubahan sosial.
1. Perspektif Modernisasi
Teori evolusi dan teori fungsionalisme banyak mempengaruhi pemikiran tentang modernisasi sebagi faktor yang mewujudkan realitas perubahan. Dari sudut pandang ini, perkembangan masyarakat terjadi melalui proses peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Teori evolusi memandang perubahan bergerak secara liniar dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Dan gerak perubahan itu mempunyai tujuan akhir Sedangkan teori fungsionalisme, memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Perubahan yang terjadi dalam unsur sistem itu akan diikuti oleh unsur sistem lainnya dan membentuk keseimbangan baru.
Penganut modernisasi klasik memandang perkembangan masyarakat akan menuju pada suatu tatanan kehidupan masyarakat modern. Smelser, melihat fungsi kelembagaan modern lebih kompleks dari pada kelembagaan tradisional. Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow, masyarakat modern berada dalam tahap konsumsi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan masyarakat tradisional mengalami hanya sedikit perubahan baik di bidang ekonomi maupun social budaya. Sejalan dengan Smelser, Coleman melihat terjadinya differensiasi struktur politik dan sekularisasi budaya politik pada masyarakat modern dan tumbuhnya prinsip kesamaan dan keadilan. Beberapa ahli meneruskan kajian modernisasi klasik dengan mengamati perkembangan di tingkat masyarakat. McCelland, menggunakan pendekatan psikologi.
Bagi dia, kemajuan di bidang ekonomi mempengaruhi tingkat kebutuhan berprestasi yang tinggi. Pendapat Inkeles menyatakan manusia modern tidak memperlihatkan gejala ketegangan atau penyakit psikologis akibat modernisasi, bahkan menunjukkan pola stabil. Lebih jauh, Bella menemukan suatu kenyataan dalam modernisasi di Jepang. Etika Samurai yang tercermin dalam nilai-nilai agama Tokugawa resisten dalam perkembangan ekonomi industri modern di Jepang. Perubahan sosial dalam pandangan modernisasi klasik, menitikberatkan kemajuan masyarakat modern terbentuk melalui suatu proses yang sama. Pandangan ini ditinjau kembali oleh para penganut modernisasi aliran baru. Wong, misalnya menyatakan, kemajuan ekonomi di Hongkong digerakkan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki system oraganisasi tradisional yang bersifat nepolis, paternalistik dan kekeluargaan.
Kasus Indonesia yang diamati Dove, memperlihatkan bahwa budaya lokal mengalami perubahan yang dinamis dalam dirinya. Sedangkan, Devis menilai ekonomi kapitalisme di Jepang tumbuh oleh terbentuknya rasionalisasi agama dan moral dalam lingkar barikade budaya.
Dari sudut pandang politik, Huntington menyatakan budaya atau agama mempunyai korelasi yang tinggi dengan demokrasi. Aliran baru teori modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai tradisional dapat berubah oleh karena dalam dirinya mengalami proses-proses perubahan yang digerakkan oleh perkembangan berbagai faktor kondisi setempat misalnya; faktor pertumbuhan penduduk, teknik, apresiasi nilai budaya
2. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa
Tjondronegoro (1999) mengulas tema ini untuk mendekati pengaruh revolusi hijauterhadap perubahan sosial di pedesaan Jawa. Revolusi hijau sebenarnya suatu program intensifikasi tanaman pangan yang membawa ide modernisasi. Karena melalui program ini diintrodusir beberapa teknologi baru dalam pertanian.
Tetapi selain itu yang ditonjolkan dalam pertukaran ini, ide modernisasi itu dilihat dalam konteks kelembagaan baru yang diterapkan dalam mengatur kelembagaan produksi. Dengan demikian pendekatan perubahan sosial yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan fungsional. Pada tingkat implementasi program, dibentuk beberapa organisasi yang member pelayanan kepada masyarakat, antara lain KOPERTA. Organisasi usaha ini tidak dikelola secara profesional. Pengurusnya bukan dari kalangan interpreneur, melainkan ditangani langsung oleh Lurah dan Pamong Desa.
Organisasi ini tidak bertahan lama karena praktik-praktik pamong desa tidak disegani petani. Karena dianggap gagal, maka pemerintah Orde Baru mengganti nama koperasi dengan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Organisasi baru ini dianggap berhasil dan ditingkatkan menjadi KUD. Namun perkembangan KUD ini tidak menggembirakan karena 93% petani lemah tidak berminat menjadi anggota. Kemudian diperankan lagi pendekatan Bimbingan Massal (BIMAS). Program ini berhasil dengan baik dengan tercapainya peningkatan hasil panen. Dan pada gilirannya, pelayanan BIMAS ditingkatkan. Tetapi pada akhirnya juga sistem ini gagal karena praktik penyimpangan yang terjadi dalam mekanisme penyaluran paket-paket bantuan. Selain itu di kalangan petani kecil ada yang ragu memanfaatkan bantuan kredit. Catatan Franke dalam Tjondronegoro (1999) membuktikan adanya hubungan system BIMAS dengan pelapisan sosial. Dampaknya ialah petani kaya lebih mampu mengakses kredit karena asset tanah dan modal yang dimilikinya dibanding petani kecil.
Pada akhirnya petani kaya menyewa tanah dari mereka, dan selanjutnya semakin mengakumulasi penguasaan tanah. Hubungan patron-klient semakin mengarah pada hubungan eksplotatif. Dengan demikian program ini tidak menambah kemandirian petani kecil bahkan menambah ketergantungannya pada patron karena kekuatan kapitalnya.
Polarisasi pemilikan mungkin tidak terjadi di sini, tetapi penguasaan tanah menumpuk di kalangan petani kaya dalam arti ekonomis. Dengan pengertian bahwa mereka yang memiliki modal kuat mampu mengakses teknologi dan fasilitas lain untuk memperluas usaha taninya. Ide modernisasi melalui revolusi hijau berhasil dilihat dari sudut peningkatan produksi pertanian. tetapi hal ini tidak diikuti oleh perubahan kelembagaan yang diadaptasi secara kuat dalam oleh masyarakat. Sayogyo dalam Tjondronegoro (1999) menyatakan modernisasi di daerah pedesaan berlangsung tanpa pembangunan, didasarkan atas pengamatan bahwa kelembagaan desa tidak dikembangkan menjadi organisasi yang mutakhir. Pesimisme terhadap perubahan social pedesaan yang disiratkan oleh Tjondronegoro dalam ringkasan ini menunjukkan pendekatannya yang lebih cenderung mengikuti aliran modernisasi baru, yang berpijak pada kekuatan perubahan yang berakar dari nilai kelembagaan tradisional.
3. Perubahan Masyarakat Tradisional di Timur Tengah
Lerner (1983) mencoba menggambarkan modernisasi sebagai faktor yang mendorong perubahan sosial di Timur Tengah. Secara umum hasil penelitiannya menemukan nilai-nilai tradisional yang tercermin dalam tingkah laku manusia pada masyarakat Timur Tengah mengalami peralihan ke karakter kehidupan modern.
Tiga variabel modernisasi yang digunakan Lerner yaitu; 1) lebih modern, dimaksudkan lebih banyak orang yang mengubah cara hidup tradisional, 2) lebih dinamis, dimaksudkan modernisasi berjalan dengan suatu derap cepat, 3) lebih stabil, dimaksudkan pembagian kelas tidak begitu jelas. Modernisasi lebih bergerak cepat karena tidak dihambat oleh terputusnya kebijakan dan kekerasan social politik. Ketiga variabel itu diturunkan pada beberapa kondisi yang dapat ditelaah yaitu; mobilitas, empati, pendapatan dan partisipasi. Dari enam negara timur tengah yang diteliti (Turki, Libanon, Mesir, Siria, Yordania, Iran) hasil penemuannya membuktikan bahwa Turki dan Libanon dianggap sedang mengalami proses modernisasi.
Mesir dan Siria dilanda kekacauan, sedangkan Yordani dan Iran belum jauh melangkah ke arah modernisasi. Perkembangan yang menarik dari modernisasi di Timur Tengah adalah ketiga ciri modernisasi, dinamisme dan stabilitas cenderung bergerak bersama. Lerner menekankan proses modernisasi yang seimbang, hal ini yang membedakan perubahan sosial di masing-masing negara. Keseimbangan itu dapat dilihat dari urbanisasi dan kemampuan baca tulis, produksi media dan konsumsinya, jumlah penduduk dan pemberian suara. Turki dan Libanon menunjukkan perkembangan yang paling seimbang dan stabil untuk semua sektor.
Salah satu contoh, di Turki dan Libanon terjadi keseimbangan yang logis antara jumlah penduduk dan pemberi suara dalam pemilu, didukung oleh ketersediaan media informasi dan pendidikan. Demikian pula ada kaitannya antara ketersediaan informasi yang tinggi dengan kebebasan berpendapat dan empati. Mesir, Siria, Yordania, dan Iran tidak mengalami perkembangan seperti itu. Keempat negara ini diliputi dengan kondisi politik dan sosiokultural yang tidak mendukung misalnya pemerintahan diktator di Mesir, imbas pengungsi di Palestina, serta nilai tradisionil yang kuat di Iran.
Selain itu, di enam negara tersebut masa peralihan sudah dapat dilihat karena perubahan sosial di negara-negara tersebut sudah terjadi. Akan tetapi tipe di setiap negara itu berbeda dilihat dari sudut ketidakberdayaan dalam menggunakan hak berpendapat atau yang disebut Lerner impotensi pribadi. Libanon dan Turki menunjukkan sedikit ada gejala itu,
sedangkan keempat negara lainnya menunjukkan gejala tersebut. Bahkan kaum peralihan di Iran sebagian besar tidak menggunakan hak berpendapat untuk menilai kondisi meraka dalam lingkungan nilainilai tradisional yang kaku. Secara umum penemuan Lerner, mencoba mengembangkan suatu teori yang melihat bahwa modernisasi terjadi dari dalam dan tidak sama untuk semua masyarakat. Namun demikian pengaruh perkembangan informasi dan komunikasi menyebabkan semua unsur eksternal juga dapat berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku. Seperti yang dinyatakan Lerner bahwa pengaruh tingkah laku dapat bersamaan dengan perubahan kelembagaan.

DAFTAR PUSTAKA
Lerner, Daniel, 1983. Memudarnya Masyarakat Tradisional (terjemahan), Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Suwarsono dan Alvin Y.So, 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
Tjondronegoro, Sediono,MP. 1991. Keping-keping Sosiologi dari Pedesaan.
Leibo, J., Sosiologi Pedesaan: Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma
Ganda, Andi Offset; Yogyakarta.
Rusdi, H., Sosiologi Pedesaan Dalam Pemahaman Aspek Sosial Budaya Masyarakat Bagi
Perencanaan dan Penerapan Teknologi; Materi Pelatihan Pemahaman Aspek Sosial Budaya
Masyarakat Dalam Perencanaan dan Penerapan Teknologi; Bandung 28 Februari s/d 30April
2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar