BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuasaan negara adalah kekuasaan mengatur, menertibkan ,dan memajukan kepentingan umum dalam rangka mencapai tujuannya. Kekuasaan itu biasanya di serahkan kepada lembaga negara yang bekerja, baik sendiri maupun berhubungan. Penyerahan kekuasaan kepada lembaga negara di maksudkan agara tujuan nasional lebih efisien, karena hal itu memberi perlindungan dan jamnan hak asasi manusia, yaitu warga negara selain di atur juga di beri kesempatan mengenai haknya (misalnya berbicara, mencari nafkah, dan persamaan dalam hukum). Kekuasaan kelembagaan negara umumnya berpedoman pada Trias Politica dari Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan atau dari John Lock tentang pembagian kekuasaan.
Kita ketahui saat ini negara kita memakai asas trias politica tidak murni. Artinya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak mengikuti asas Montesquieu secara penuh, jadi masih ada interperensi dari lembaga-lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif itu sendiri. Jika adanya interperensi berarti kita dapat menemukan adanya hubungan lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Untuk membahas hal tersebut akan di jelaskan lebih rinci pada pembahasan. Semoga makalah ini menjadi ilmu bagi pembaca maupun penulis. Dalam pembahasaan tersebut akan di bahas mengenai “Hubungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam prespektif fungsi, kedudukan, dan wewenangnya”.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang diatas maka kami mengambil sebuah permasalahan sebagai berikut:
1. Apa tugas, fungsi,dan kedudukan Lembaga tinggi Negara tersebut (Eksekutif, Legiskatif dan Yudikatif) dalam prespektif Ketatanegaraan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk persyaratan tugas dari dosen pembimbing. serta untuk memberikan wawasan serta pengetahuan kepada para pembaca khususnya mengenai studi tentang lembaga-lembaga tinggi Negara
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Sebelum dan Sesudah Amandemen
Undang-undang dibuat harus sesuai dengan keperluan dan harus peka zaman, artinya aturan yang dibuat oleh para DPR kita sebelum di syahkan menjadi Undang-undang sebelumnya harus disosialisasikan dahulu dengan rakyat, apakah tidak melanggar norma- norma adat atau melanggar hak-hak azazi manusia. Salah satu bukti bahwa Undang-Undang yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zamanya adalah Undang-Undang dasar 1945. Dengan mengalami empat kali perubahan yang masing-masing tujuanya tidak lain hanya untuk bisa sesuai dengan kehendak rakyat dan bangsa kita, dalam arti bisa mewakili aspirasi rakyat yang disesuaikan zamanya , dimana dalam amandemen yang ke-4 rakyat memegang kekuasaan yang paling tinggi, sangat berbeda dengan sebelum amandemen yang MPR merupakan wakil rakyat untuk mewujudkan aspirasinya yang salah satu tugasnya adalah dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden, karena dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang korup, syarat dengan aroma KKN yang membentuk kekuasaan tak terbatas terhadap Presidenya. Kita tahu bahwa dalam masa Orde Baru Presiden kita tidak pernah mengalami pergantian selama 32 tahun meski telah mengalami Pemilihan Umum sebanyak tidak kurang dari 6 kali Pemilu. Oleh sebab itu para mahasiswa kita dan para aktivis lainya mengadakan Reformasi yang berimbas juga pada reformasi didalam isi Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun perbedaan kelembagaan dan tugas kenegaraaan sebelum dan sesudah amandemen ke -4.
A. Sebelum Amandemen Ke -4
Pada saat sebelum amandemen ke-4 lembaga tertinggi Negara adalah MPR seperti yang tersebut dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyarawatan Rakyat.Adapun lembaga Tinggi Negara pada saat itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Mahkamah Agung. Berikut bagan Lembaga Negara sebelum amandemen yang ke-4.
Tugas kenegaraan Lembaga Tinggi Negara Sebelum amandemen:
1. MPR
• Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
• Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
• Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
• Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
• Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
• Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
• Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
• Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.
2. PRESIDEN / WAPRES
• Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
• Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
• Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
• Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
• Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
3. DPR
• Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
• Memberikan persetujuan atas PERPU.
• Memberikan persetujuan atas Anggaran.
• Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
4. DPA DAN BPK
• Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
5. MA
• Merupakan lembaga tinggi Negara dari peradilan Tata Usaha Negara,PN,PA,dan PM.
B. Sesudah Amandemen Ke-4
Sebagai kelembagaan Negara, MPR RI tidak lagi diberikan sebutan sebagai lembaga tertinggi Negara dan hanya sebagai lembaga Negara, seperti juga, seperti juga DPR, Presiden, BPK dan MA. Dalam pasal 1 ayat (2) yang telah mengalami perubahan perihal kedaulatan disebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar sehingga tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaku/pelaksana kedaulatan rakyat. Juga susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan Dewan Perakilan Daerah (DPD), yang kesemuanya direkrut melalui pemilu. Perlu dijelaskan pula bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan Negara juga mengalami perubahan, dengan pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga Negara yang dihapus maupun lahir baru, yaitu sebagai Badan legislative terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, Badan Eksekutif Presiden dan wakil Presiden, sedang badan yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga lembaga baru. Lembaga Negara lama yang dihapus adalah dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan pemeriksa keuangan tetap ada hanya diatur tersendiri diluar kesemuanya/dan sejajar.
Tugas dan kewenagan MPR RI sesudah perubahan, menurut pasal 3 UUD 1945 ( perubahan Ketiga ).
a. Majelis Permusyawaran Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD
b. Majelis Permusyawaran Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c.Majelis Permusyawaran Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar ( impeachment ).
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
• Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
• Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
• Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
• Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
• Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
• Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
Tugas Lembaga Tinggi Negara sesudah amandemen ke-4 :
1. MPR
• Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
• Menghilangkan supremasi kewenangannya.
• Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
• Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
• Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
• Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
2. DPR
• Posisi dan kewenangannya diperkuat.
• Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
• Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
• Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
3. DPD
• Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
• Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
• Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
• Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
4. BPK
• Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
• Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
• Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
• Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
5. PRESIDEN
• Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
• Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
• Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
• Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
• Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
• Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
6. MAHKAMAH AGUNG
• Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
• Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
• Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
• Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
7. MAHKAMAH KONSTITUSI
• Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
• Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
• Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
8. KOMISI YUDISIAL
• Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan pengawasan moralitas dank ode etik para Hakim.
2.2 KEPRESIDENAN
Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
• Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
• Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
• Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
• Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
• Menetapkan Peraturan Pemerintah
• Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
• Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
• Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
• Menyatakan keadaan bahaya.
• Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
• Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
• Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
• Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
• Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU
• Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
• Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR
• Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung
• Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.
Tugas dan Fungsi Presiden
Sebagai Kepala Negara
• Melangsungkan perjanjian dengan Negara lain
• Mengadakan perdamaian dengan Negara lain
• Menyatakan Negara dengan Negara lain
• Mengumumkan perang terhadap Negara lain
• Menggangkat, melantik dan memberhentikan duta serta konsul untuk Negara lain.
• Menerima surat kepercayaan dari Negara lain melalui duta dan konsul Negara lain
• Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan tingkat nasional
• Menguasai angkatan darat, laut dan udara serta kepolisian.
Sebagai Kepala Pemerintahan
• Memimpin kabinet
• Menggangkat dan melantik mentri-mentri
• Memberhentikan mentri-mentri
• Mengawasi operasional pembangunan
• Menerima mandat dari MPR RI
2.3 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih dan men¬gangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, MPR juga tidak mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah.
Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR masih berwenang untuk:
a. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam Sidang Paripurna MPR;
c. memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk mem-berhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna MPR;
d. melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jaba¬tannya; memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
e. serta memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari.
2.4 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih berdasarkan hasil Pemilihan Umum. Anggota DPR periode 2009–2014 berjumlah 560 orang. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Tugas dan wewenang DPR
• Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
• Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
• Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
• Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
• Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
• Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD
• Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan;
• Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
• Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
• Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan;
• Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi
• Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
• Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
• Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
• Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
2.5 Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Tugas, Fungsi, dan Kewenangan DPD :
• mengusulkan rekomendasi yang melibatkan diskusi dan pertimbangan yang berhubungan dengan bidang legislatif tertentu.
• mengawasi penegakan hukum tertentu.
• mengusulkan Tagihan ke DPR dan terlibat dalam pembahasan RUU terkait untuk lokal atau Otonomi (Daerah hal, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pembentukan, pembesaran, dan integrasi wilayah lokal, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya) .
• Dan masalah lain yang berkaitan dengan alokasi pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Daerah / Pemerintah Daerah.
• DPD juga memberikan masukan kepada DPR mengenai hal-hal yang terkait dengan RUU tentang APBN dan Tagihan yang berhubungan dengan perpajakan, pendidikan, dan agama.
• memberikan masukan pada pemilihan dan pengangkatan anggota kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
• mengamati dan mengawasi penegakan UU Otonomi Daerah, serta pembentukan, pembesaran, dan integrasi wilayah lokal, Hubungan Pusat dan Daerah Pemerintah, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Nasional Anggaran, perpajakan, pendidikan, dan agama.
2.6 Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung sebagai salah satu Lembaga Tinggi Negara sebagaimana telah ditetapkan dalam Ketetapan MPR, Nomor : III/MPR/1978, wajib melaksanakan amanat yang digariskan dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya mengacu pada arah kebijakan Hukum Garis-garis Besar Haluan Negara sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor: IV/MPR/1999 serta kedudukannya sebagai penyelenggara Kekuasaan Kehakiman berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undaiig Dasar 1945.
Selanjutnya Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 beserta Penjelasannya menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum R.I. yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang.
Sebagai badan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung adalah merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain serta melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain seperti tersebut dalam Pasal 10 ayat (2) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 2 dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985.
Mahkamah Agung memiliki fungsi-fungsi dan tugas, sebagai berikut:
1. Fungsi Peradilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
- semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
- permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
- semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
2. Fungsi Pengawasan
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
- Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4. Fungsi Nasehat
a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. Fungsi Lain-Lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
2.7 Mahkamah Konstitusi (MK)
Kedudukan MK
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.
Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.
Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
Fungsi dan Peran MK
Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial reviewyang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK.
Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Empat kewenangan MK adalah:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
a) Pengujian Undang-undang terhadap UUD1945
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60. Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b) Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c) Pembubaran Partai Politik
Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d) Perselisihan Hasil Pemilu
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
e). Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.
Putusan Final dan Mengikat
Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK.14 Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.
Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan.
Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.
2.8 Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial:
1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
2. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
b. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
c. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial dalam Rekruitmen Calon Hakim Angung
Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan Istilah “wewenang” untuk menunjuk fugsi yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Wewenang (bevoegdheid) mengandung pengertian tugas (plichten) dan hak (rechten) Berefleksi dari kelemahan perekrutan hakim agung pada masa orde lama, orde baru dan pada awal reformasi maka didalam pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 dikatakan sebagai berikut : “Calon hakim angung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Pewakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim angung oleh Presiden”. Sementara itu, didalam ketentuan Pasal 8 undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sisebutkan sebagai berikut:
• Hakim agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
• Calon hakim agung sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
• Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
• Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung yang diangkat oleh presiden.
• Ketua Muda Mahkamah Angung dianggkat oleh Presiden diantara hakim angung yang diajukan oleh ketua Mahkamah Angung.
• Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua Muda Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan calon diterima presiden.
Dalam ketentuan yang terdapat didalam Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 tersebut menyuratkan bahwa Komisi Yudisial telah mengambil alih fungsi-fungsi yang selama ini diperankan oleh MA, Pemerintah dan DPR sebagaimaan siatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan DPR mengantikan peran presiden sebagai pihak yang kepadanya diajukan calon Hakim Agung. Presiden hanya sebagai pihak yang mengangkat hakim agung dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Menindak lanjuti pengalihan fungsi-fungsi pengusulan calon hakim agung yang selama ini diperankan MA, DPR dan Pemerintah kepada komisi yudisial dan dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial.
2.9 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) merupakan lembaga negara yang diamanatkan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara bebas dan mandiri (pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Tugas BPK
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga Negara lainnya, bank Indonesia, BUMN, badan layanan umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara (Pasal 6 ayat(1) UU No. 15 tahun 2006).
Wewenang BPK
1. menentukan objek pemeriksaan, merncanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menetukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.
2. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oeh setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, badan layanan umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.
3. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik Negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan Negara, serta pemeriksaan perhitungan-perhitungan,surat-surat, bukti-bukti, rekening koraqn, pertanggung jawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara.
4. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang wajib disampaikan kepada BPK.
5. menetapkan standar pemeriksaan keuangan Negara setelah konsultasi dengan pemerintah pusat/pemerintah daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
6. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
7. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK.
8. membina jabatn fungsional pemeriksa.
9. memberi pertimbangan atas standar akuntansi pemerintahan.
10. memberi pertimbanga atas rancangan system pengendalian intern pemerintah puast/pemerintah Daerah sebelumditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.(Pasal 9 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006)
Tujuan BPK
1. mewujudkan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa keuangan Negara yang independent dan professional.
2. memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan.
3. mewujudkan BPK RI sebagai pust regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
4. mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
Landasan operasional ditetapkan:
- UU No 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara
- UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara
- UU No.15 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan mengenai lembaga-lembaga tinggi Negara di atas, dapat disimpulkan bahwasanya ada beberapa poin yang memang dirubah pada struktur kelembagaan pada era sebelum dan sesudah amandemen. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memperbaiki kinerja yang ada di pemerintahan pusat. Namun dalam kenyataannya, masih banyak sekali penyimpangan-penyimpang yang terjadi dalam proses implementasinya.
Pergeseran yang paling nampak adalah terjadi pada MPR yang bukan lagi menjadi lembaga tertnggi Negara seperti sebelum amandemen, namun setelah amandemen MPR menjadi lembaga tinggi Negara yang beranggotakan DPR dan DPD. Sehingga, setelah amandemen, MPR menjadi lembaga yang setingkat dengan DPR, DPD, Kepresidenan, dan lain-lain.
Selain itu ada juga beberapa perubahan yang cukup signifikan, yakni pada sector pemilihan umum presiden maupun kepala daerah. Dalam pemilihan umum presiden, pada masa setelah amandemen, dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini bertujuan untuk melakukan proses demokrasi yang lebih mengedepankan partisipasi rakyat.
Akhirnya, adanya suatu perubahan dalam struktur maupun proses dalam pemerintahan pada masa sebelum dan sesudah amandemen merupakan suatu langka yang harus ditempuh demi mencapai tujuan nasional Bangsa Indonesia.
3.2 Saran
Dalam melakukan berbagai proses kebijakan pada sistem pemerintahan di lembaga-lembaga tinggi negara, hendaknya para pejabat pemerintah harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas. Sehingga untuk mengambil suatu keputusan haruslah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang akan berdampak pada rakyat.
Seorang pejabat pemerintah dalam lembaga-lembaga tinggi Negara harus mengemban amanat yang sebaik mungkin yang telah dipercayakan rakyat. Karena mereka adalah pemimpin yang harus memberikan contoh pada masyarakatnya.
Yang terakhir, dengan adanya pergeseran yang ada pada lembag-lembaga tinggi Negara, sistem pemerinthan juga harus melakukan proses yang sebaik mungkin untuk mencapai tujuan Nasional sesuai dengan yang tercantum pada pembukaan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. 1986 . Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta : Gramedia
Dahl, Robert. 1978 . Modern Political Analysis. New Delhi : Prentice Hall of India Private Ltd
Easton, David. 1971. The Political System. New York : Alferd Knopf
Ndaraha, Talizuduhu. 1983 . Metodologi Pemerintahan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara
Syafiie, Inu Kencana. 1994 . Ilmu Pemerintahan. Bandung : Mandar Maju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar