oleh:Ana Jauharul Islam
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dinamika kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan sekarang ini, menuntut setiap aparatur pemerintahan, untuk mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi. Salah satu upaya itu, adalah dengan melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi, pada tataran struktural, kita lakukan melalui penataan kembali organisasi pemerintahan agar lebih tanggap terhadap tuntutan kepentingan masyarakat. Sementara reformasi birokrasi pada tataran kultural, kita lakukan melalui pengembangan profesionalitas dan penguatan etos kerja aparatur pemerintahan. Reformasi birokrasi yang kita jalankan, merupakan langkah terencana yang dilakukan Pemerintah, untuk membangun dan mengembangkan kinerja birokrasi pemerintahan kita.
Reformasi birokrasi menjadi bagian penting dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Titik berat dari pemerintahan yang baik adalah pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemberantasan korupsi secara terarah, sistematis, dan terpadu.
Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Hal penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN. Hasil pengamatan Sofian Effendi (Rektor UGM) menyimpulkan, sampai dengan saat ini Indonesia masih dihadapkan banyak masalah dalam mengembangkan good governance, antara lain tantangan dalam pemberantasan KKN, clean government, kebijakan yang tidak jelas, kelembagaan belum ditata dengan baik, penempatan personil tidak kredibel, dan enforcement menggunakan sentra kehidupan politik yang kurang berorientasi pada kepentingan bangsa. Reformasi Birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivitas, tidak profesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, rekrutmen PNS tidak transparan, belum ada perubahan mindset, KKN yang marak di berbagai jenjang pekerjaan, abdi masyarakat belum terbangun, pemerintahan belum akuntabel, transparan, partisipatif, dan kredibel, pelayanan publik belum berkualitas dan pelayanan publik prima belum terbangun secara luas. Strategi Reformasi Birokrasi melalui upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan publik, percepatan pemberantasan korupsi, peningkatan kinerja SDM aparatur, manajemen kepegawaian berbasis kinerja, remunerasi dan meritokrasi, diklat berbasis kompetensi, penyelesaian status tenaga honorer, pegawai harian lepas (PHL), dan pegawai tidak tetap (PTT), serta deregulasi dan debirokratisasi.
Selain itu Reformasi birokrasi mempunyai tujuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Proses reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah karena harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur dan konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi (ambtenaar) ke arah birokrasi dengan konfigurasi otoritas yang rasional, yang dalam tataran empirik dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (public service). Menurut konsep birokrasi Weberian bahwa kekuasaan ada pada setiap hirarki jabatan.
Semakin tinggi hirarki tersebut semakin tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin rendah hirarkinya akan semakin rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendah hirarkinya sehingga ia tidak mempunyai kekuasaan apapun. Disiplin birokrasi model Weber menyatakan bahwa hirarki bawah tidak boleh berani atau tidak boleh melawan kekuasaan hirarki atas (dalam Thoha, 1999). Tugas utama pemerintah terhadap rakyatnya adalah memberikan pelayanan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Demikan pentingnya pelayanan publik oleh pemerintah ini sehingga sering dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu rezim pemerintah, terlebih sekarang ketika paradigma Good Governance (kepemerintahan yang baik) dikedepankan dimana akuntabilitas, efektivitas dan efesiensi dijadikan tolok ukur dalam pelayanan sektor publik .
Dalam arti dan lingkup demikianlah, saya menulis karya ini dengan judul “pentingnya reformasi birokrasi dalam prespektif pelayanan publik Pada Lembaga – lembaga Negara” yang memang perlu dilakukan secara sistemik dan sistematis. Hal tersebut menjadi semakin terasa penting sebab yang kiranya perlu menjadi pemikiran dan upaya pembaruan ke depan adalah perwujudan suatu paradigma “baru” dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas , dipadukan secara serasi dan proporsional, untuk mewujudkan sebuah pelayanan yang efektif dan efisien
PEMBAHASAN
2.1 Dinamika Birokrasi
Birokrasi menurut Blow dan Mayer (1987:5) adalah organisasi besar merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang mempunyai kemampuan sangat besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan. Pengertian birokrasi yang disampaikan Blow dan mayer sangat sesuai dengan kenyataan birokrasi dewasa ini dengan salah satu kata kuncinya yaitu: organisasi besar yang sangat berkuasa Organisasi besar yang sangat berkuasa, hal ini dengan mudah dapat dipahami. Dimanapun birokrasi dapat memaksakan berjalannya regulasi seperti pegawai yang tidak masuk seperti apa yang menjadi kesepakatanya atau jam kerjanya maka birokrasi dapat memberikan penalty/ denda. Apabila batas toleransi ijin tidak masuk atau cuti untuk keperluan lainnya telah dilalui maka birokrasi wajib memberika sanksi yang lebih berat lagi. Birokrasi memiliki personalia hingga jutaan orang, suatu jumlah yang sangat besar bagi organisasi yang besar pula.
Organisasi besar dalam artian birokrasi pemerintah yang kadang memiliki jutaan pegawai, kadang merupakan pemborosan keuangan Negara yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain: pengkajian formasi yang tidak objektif, nepotisme, penyelewengan dan sebagainya.
Maksudnya dalam hal kajian tersebut diatas dapat saya simpulkan bawasanya untik memperbaiki kualitas pegawai birokrasi hal pertama yang harus kita rubah adalah dari lembaga birokrasinya, karena dari sanalah nantinya para pegawai Birokrasi tersebut dicetak, mulai dari sistem rekrutmen, seleksi dan penempatan, untuk itu birokrasi harus memperbaiki kualitas kerjanya agar nantinya output yang dihasilkan oleh pegawai tersebut dapat mencerminkan tata pemerintahan yang baik dan berkualitas, dan memberikan kinerja yang efisien dan efektif.
2.2 Pelayanan Publik
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam Widodo, 2001).
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Dengan ciri sebagai berikut:
1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran;
2. Sederhana, mengandung arti prosedur/ tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat dan tidak berbelit-belit.
3. Ketepatan waktu, criteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah diselesaikan.
4. Responsif, lebih mengandung arti daya tanggap dan cepat dalam menghadapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan aspirasi masyarakat yang akan dilayani.
5. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Maksudnya dalam konteks pelayanan ini dapat saya ambil sebuah kajian bahwa seorang pegawai diharapkan dapat memberikan sebuah pelayanan yang professional dalam artian memberikan pelayanan yang sederhana Maksudnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat harus lah cepat,tepat dan tidak banyak aturan, dan yang lebih penting adalah tepat waktu dan memperhatikan aspirasi masyrakat.
2.3 Upaya Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi usaha mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Perlu usaha-usaha serius agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menuju reformasi birokrasi.
Langkah internal:
1) Meluruskan orientasi
Reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
2) Memperkuat Komitmen
Tekad birokrat untuk berubah harus ditumbuhkan. Ini prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan di kalangan birokrat perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
3) Membagun Kultur Baru
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit -belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya.
4) Rasionalisasi
Struktur kelembagaan birokrasi cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan serta dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk kemajuan teknologi informasi.
5) Memperkuat Payung Hukum
Upaya reformasi birokrasi perlu dilandasi dengan aturan hukum yang jelas. Aturan hukum yang jelas bisa menjadi koridor dalam menjalankan perubahan- perubahan
6) Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai sumber daya manusia yang handal dan profesional. Oleh karena itu untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan.
Langkah eksternal:
a) Komitmen dan keteladanan elit politik
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk untuk kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpinpemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat.
b) Pengawasan masyarakat
Reformasi birokrasi akan berdampak langsung pada masyarakat, karena peran birokrasi yang utama adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada tataran ini masyarakat dapat dilibatkan untuk mengawasi kinerja birokrasi.
2.4 Pentingnya Reformasi Birokrasi
Salah satu unsur penting dalam menciptakan Good Governance (Kepemerintahan yang baik) adalah dengan mereformasi birokrasi (civil service). Ini merupakan tantangan yang besar bagi Indonesia yang mewarisi institusi kepegawaian negeri yang masif (bersifat massal), serba kekurangan dana, dan kurang profesional. Menurut Steffan Synnerstrom dari bank pembangunan asia, ada dua faktor kunci untuk memperbaiki kinerja birokrasi, yaitu dengan meningkatkan transparansi dan memperkuat akuntabilitas. Khusus Indonesia yang memiliki sekitar 3,6 juta pegawai negeri di luar militer dan polisi, proses ini hanya dilakukan secara gradual.
Salah satu hal yang disorot Synnerstrom adalah tradisi di Indonesia yang memisahkan antara penyusunan kebijakan (Policy making) dan penyusunan anggaran (Budgeting). Juga, pemilahan anggaran menjadi "anggaran pembangunan" dan "anggran rutin". Tradisi ini membawa sejumlah kelemahan. Pertama, perubahan kebijakan, standar kinerja, pengeluaran, diatur melalui jalur administratif, tanpa terkait dengan anggaran, sehingga implementasi kebijakan sering tak sesuai dengan perencanaan.
Kedua penyusunan anggaran di departemen umumnya disusun berdasarkan "formula yang kaku". Dengan demikian, untuk sebagian besar institusi, dana yang diterima sangat tidak mencukupi, tetapi ada juga sebagian kecil institusi yang memperoleh anggaran yang sangat besar.
Ketiga, Departemen Keuangan tidak memiliki kontrol terhadap anggaran karena sudah ditetapkan berdasarkan "formula yang kaku". Selain birokrasi, partai politik juga memegang peranan sangat penting dalam sistem politik yang demokratis. Menurut Ben Reilly, Direktur Center for Democratic Institutions di Australian National University, apa yang terjadi dalam dunia kepartaian dan sistem pemilu di Indonesia sehaluan dengan tren yang terjadi di kawasan Asia Pasifik.
Legislasi yang menyangkut kepartaian di Indonesia umumnya menggiring partai untuk tampil di tingkat "nasional". Hal ini diyakini untuk mencegah munculnya perpecahan di kelompok etnis ataupun regional di masyarakat. Karena itu, sebuah partai diharuskan memiliki perwakilan yang layak di seluruh Indonesia. Hanya saja di sini perlu kehati-hatian, karena bila kelompok-kelompok etnis atau agama tak mampu bersaing melalui cara-cara demokratis, dikhawatirkan mereka akan mencari jalan lain untuk mencapai tujuannya.
Dalam pada itu muncul pertanyaan menyangkut dana kampanye parpol yang sulit dikontrol. oleh karena itu menurut Reilly, problem seperti itu terjadi di negara manapun sehingga yang dibutuhkan adalah sebuah aturan yang transparan dan secara jelas menetapkan batasan.
2.5 Peluang Reformasi Birokrasi Ke depan
Patut rnenjadi perhatian semua pihak bahwa birokrasi merupakan kekuatan yang besar sekali. Kegiatannya menyentuh hampir setiap kehidupan warga negara. Maka kebijakan yang dibuat oleh birokrasi sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena warga yang hidup dalam suatu negara terpaksa menerima kebijaksanaan yang telah dibuat oleh birokrasi, selain itu memang birokrasi merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat.
Berkenaan dengan hal tersebut, tidak berlebihan bila dikatakan, gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi akan berdampak luas pada nasib rakyat, dan tentu saja berdampak pada proses demokratisasi. Nasib rakyat akan semakin terpuruk karena kualitas pelayan publik dan tidak berfungsinya pelayanan publik karena akan cenderung mendistorsi proses menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pemilu 2009 merupakan momentum penting untuk melanjutkan proses reformasi birokrasi. Pergantian kepemimpinan sejak masa reformasi tidak berpengaruh pada kinerja birokrasi. Reformasi birokrasi sebenarnya sudah dilakukan secara internal. Perubahan struktur organisasi dan program kerja sudah dijalankan. Walaupun demikian, kinerjanya tetap tidak berubah bahkan cenderung semakin buruk. Kasus-kasus penyalahgunaan wewenang semakin meningkat tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif melainkan meluas kelembaga legislatif dan yudikatif. Kecenderungan meluasnya kasus-kasus tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga meluas ke daerah. Hal itu bisa dimaklumi karena perubahan-perubahan internal itu dilakukan semata-mata hanya berdasarkan keinginan sesaat ketika eforia reformasi berlangsung.
Pergantian kepemimpinan pasca reformasi tidak mengubah perilaku ini, bahkan terjadi hal yang sebaliknya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya adalah tidak adanya komitmen dan keteladanan dari para pemimpin. Perencanaan dan program reformasi sebaik apapun tidak akan bisa dijalankan kalau tidak ada komitmen dan keteladanan dari para pemimpin. Oleh karena itu, mau tidak mau pada Pemilu 2009 kita harus mendapatkan pemimpin-pemimpin yang mempunyai komitmen dan keteladanan tidak hanya pada proses reformasi birokrasi melainkan pemimpin yang mempunyai komitmen dan keteladanan untuk mengubah masa depan bangsa menuju keadaan yang lebih baik.
Hanya para pemimpin berkomitmen dan mampu memberi teladan serta benarbenar meluhurkan nilai-nilai moral dan akhlak, yang mampu menegakkan supremasi hukum dalam era pembangunan nasional berkelanjutan, dalam kerangka dasar membangun kembali Indonesia.
ANALISIS FAKTUAL DAN TEORITIS
3.1 Masalah Reformasi Birokrasi Dalam Pelayanan
Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Di dalam hukum administrasi negara istilah “pelayanan publik” diartikan sebagai: “segala kegiatan atau rangkaian kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Kepmenpan No. 63/Kep/M.PAN/7/2003; UU No. 32 Tahun 2004). Peraturan perundangan di Indonesia telah memberikan landasan formal mengenai penyelenggaraan Pelayanan Publik yang didasarkan pada Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik dan tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang terdiri dari: Asas Kepastian Hukum; Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas.
Kinerja pelayan publik sebagai aparatur pemerintah sampai saat ini tampaknya belum maksimal. Setidaknya ada tiga masalah utama yang dihadapi oleh aparatur pemerintah dan yang melatarbelakangi Reformasi Hukum Administrasi Negara dalam Rangka Pelayanan Umum yaitu:
• Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan.
• Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga besar kemungkinan timbul ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dsb.
• Rendahnya pengawasan internal dan external (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Hukum positif Indonesia pada dasarnya sudah meletakkan kewajiban-kewajiban utama pada setiap fungsi pelayanan publik di Indonesia untuk bekerja atas dasar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Pasal 3 UU No. 28/1999; pasal 20 UU. 32 Tahun 2004). Prinsip-prinsip good governance tersebut berlaku pula terhadap penerimaan, pemrosesan, dan penyelesaian masalah-masalah yang terbit dari keluhan-keluhan masyarakat.
• Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri serta belum diatur secara lebih jelas dan tegas tentang kode perilaku petugas pelaksana pelayanan publik (Code of Conduct for Public Servants) dan standar pengelolaan keluhan publik. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia dan kelembagaan atau fungsi palayanan publiknya (ekses-ekses KKN, conflict of interest, dsb).
3.2 Analisis Masalah
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan lahirnya Orde Reformasi, masyarakat menuntut perlunya reformasi total di segala sektor kehidupan, tak terkecuali birokrasi. Dalam konteks kelembagaan, reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada lembaga-lembaga negara, seperti kejaksaan, kepolisian, lembaga peradilan, kementerian, imigrasi, bea cukai, pajak, pertanahan, sampai pemerintah daerah. Semua itu Wajib dilakukan untuk menuju pelayanan publik yang berkualitas dan prima.
Faktanya, hingga kini agenda besar tersebut masih jauh dari harapan dan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia; Lihat saja, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih ditemukan dalam mata rantai berbagai birokrasi pemerintahan, bahkan cenderung merajalela. Pelayanan publik yang efektif, efisien, responsif, dan akuntabel juga belum sepenuhnya terwujud. Wajar saja jika kemudian ada beberapa kalangan yang menyebut bahwa reformasi birokrasi yang selama ini berjalan dinilai belum berhasil.Sebagai rujukan, turunnya indeks pelayanan publik di sejumlah instansi yang dipublikasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2010 menjadi bukti konkret. Berdasar hasil survei KPK terhadap 353 unit layanan pemerintah, menunjukkan adanya penurunan kualitas pelayanan dalam setahun terakhir, baik di pusat maupun di daerah. tahun lalu, rata-rata indeks integritas nasional sebesar 6,5. Kini, indeks yang sama erosot menjadi 5,42.Di antara instansi yang nilainya jeblok adalah kepolisian dan lembaga peradilan. Kepolisian mendapat indeks rata-rata 5,21 lantaran masih adanya pungutan liar dalam layanan pembuatan dokumen, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Sedangkan, lembaga peradilan menjadi instansi yang memiliki skor integritas terendah di bawah rata-rata 6,84. Salah satu penyebab melorotnya pelayanan publik lantaran banyak birokrat belum mengerti esensi Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Reformasi birokrasi memang sebuah keniscayaan. Agenda strategis reformasi birokrasi tentu saja diarahkan pada upaya-upaya untuk membangun aparatur negara yang efektif dan efisien, mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi secara berkelanjutan. Selain itu demi menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), juga pemerintah yang bersih (clean government) dan bebas KKN.
Tujuan tersebut diwujudkan dalam perubahan secara signifikan melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaruan secara konseptual, sistematis, dan berkesinambungan. Caranya dengan melakukan penataan, peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan, dan pembaruan sistem, kebijakan, dan peraturan perundangan bidang aparatur negara, termasuk moral aparatur negara, serta memantapkan komitmen melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal penataan, reformasi birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan, yakni dengan menata ulang kewenangan dan tugas pokok, serta fungsi organisasi atau instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah untuk menghilangkan tumpang tindih kewenangan.
Pada sisi pembenahan sumber daya manusia aparatur, birokrasi reformasi diarahkan pada perubahan mindset yang mencakup pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, serta pengembangan budaya kerja. Mereka harus sadar diri bahwa mereka bukan lagi sebagai penguasa publik, tapi pelayan publik. Karena itu, yang pertama kali harus ditanamkan dalam benak mereka adalah mendahulukan peranan ketimbang wewenangnya.
Langkah selanjutnya dalam reformasi birokrasi adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang tidak berbelit-belit dengan cara memanf aatkan teknologi informasi, semisal menerapkan e-government, e-procurement, information technology, atau single identity number (SIN).Menyederhanakan sistem dan prosedur kerja internal birokrasi dilakukan untuk memungkinkan proses perumusan kebijakan, koordinasi, dan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan dengan lebih cepat dan konkret.Lebih dari itu, penyederhanaan sistem dan prosedur kerja dapat menutup celah-celah praktik KKN, serta menyederhanakan perizinan untuk mendorong pertumbuhan dunia usaha dan kelestarian bagi lingkungan hidup.
Reformasi birokrasi pajak Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja pelayanan publik, seperti imigrasi, bea cukai, pajak, pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah, dan institusi atau instansi pemerin-tah yang rawan KKN. Satu contoh, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang sejauh ini mengklaim berhasil melakukan reformasi birokrasi nyatanya kecolongan juga. Terbukti dari terbongkarnya kasus penggelapan pajak yang menyeret mantan pegawai pajak Gayus Tambunan.Bagaimanapun, reformasi birokrasi adalah pilihan sekaligus tuntutan zaman. Pemerintah sendiri sudah menargetkan pada 2025 reformasi birokrasi di pusat dan daerah bisa selesai semua. Political will dari pemerintah tentu sangat diharapkan demi keberhasilan reformasi birokrasi di semua sektor, selain kesadaran untuk bekerja sama dari berbagai elemen dan adanya partisipasi publik untuk mencapainya. Jika tidak demikian, reformasi birokrasi hanyalah mimpi.
3.3 Upaya Pemecahan Masalah
Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi masyarakat (Putra :19).
Efektivitas dapat dilihat dari 3 pendekatan yakni (Putra:22):
Pendekatan Sasaran (goal approach), mengukur efektivitas dari segi output.
Pendekatan Sumber (system resource approach), melihat dari inputnya.
Pendekatan Proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal organisasi publik, seperti efisiensi dan iklim organisasi.
Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas dari pada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga. Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang biasanya disebut pegawai Sipil (Rozi:10). Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan istiah Aparatur Pemerintah.
Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya dan diberi mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz:203). Birokrasi dalam pengertian keseharian selalu dimaknai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:112). Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah bisa menjelaskan orientasi birokrasi.
Pola patron-client yang kental menjadikan ciri birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi lamban dan berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi:127).
Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat nyaris dalam situasi yang tidak berdaya (powerless) dan tidak memiliki pilihan ( Tjokrowinoto:33). Dengan kondisi yang demikian itulah maka penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos feodalisme.
Maksudya dalam dalam konteks ini birokrasi terutama yang menyangkut aparatur pemerintah diharapkan untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat dengan memperbaiki proses dalam kualitas layanan, selain itu juga berlandaskan sebuah etika, Dalam hal ini etika merupakan nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga. Dengan begitu perwujudan reformasi birokrasi akan sangat mudah untuk dilaksanakan karena pada dasarnya mengacu pada komitmen oleh seluruh elemen aparatur yang ada didalam sebuah lembaga birokrasi tersebut untuk memilki rasa keinginan untuk melakukan perubahan mulai dari dirinya sendiri, pola struktur organisasinya dan aspek yang lebih urgen lagi adalah sebuah proses dalam menjalankan pelayanan berdasarkan prinsip- prinsip yang tertuang dalam Good Governance dan paradigma NPS (New Publik Service) bahwa tuan utama penyelengara pemerintah baik itu dari kalangan swasta maupun publik adalah memberikan pelayanan dengan profesional agar tercipta sebuah kinerja yang efektif dan efisien, agar memberikan sebuah kepuasan bagi masyarakat
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Hal penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN. Dalam konteks kelembagaan, reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada lembaga-lembaga negara, seperti kejaksaan, kepolisian, lembaga peradilan, kementerian, imigrasi, bea cukai, pajak, pertanahan, sampai pemerintah daerah, Namun reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan.
Melihat berbagai macam permasalahan yang ada pada lembaga diindonesia seperti: lambatnya pelayanan pada lembaga-lembaga pemerintah, merebaknya kasus-kasus korupsi di dalam lembaga Negara (perbajakan, bea cukai, pemerintahan daerah), maka untuk itulah menurut saya sangat diperlukan apa yang namanya sebuah pembaharuan atau reformasi didalam tubuh Lembaga-lembaga Negara disegala sektor, misalnya berkaitan dengan hal-hal dengan meningkatkan transparansi dan memperkuat akuntabilitas, kemudian Pada sisi pembenahan sumber daya manusia aparatur, birokrasi reformasi diarahkan pada perubahan mindset yang mencakup pola pikir, pola sikap, dan pola tindak, serta pengembangan budaya kerja. Mereka harus sadar diri bahwa mereka bukan lagi sebagai penguasa publik, tapi pelayan publik. Karena itu, yang pertama kali harus ditanamkan dalam benak mereka adalah mendahulukan peranan ketimbang wewenangnya, membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang tidak berbelit-belit dengan cara memanf aatkan teknologi informasi, semisal menerapkan e-government, e-procurement, information technology, atau single identity number (SIN).Menyederhanakan sistem dan prosedur kerja internal birokrasi dilakukan untuk memungkinkan proses perumusan kebijakan, koordinasi, dan pengambilan keputusan yang dapat dilakukan dengan lebih cepat dan konkret.Lebih dari itu, penyederhanaan sistem dan prosedur kerja dapat menutup celah-celah praktik KKN, serta menyederhanakan perizinan untuk mendorong pertumbuhan dunia usaha dan kelestarian bagi lingkungan hidup, untuk itulah mengapa proses reformasi menjadi sangat penting
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. Birokrasi, terj. M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Yogyakarta: Tiara Wacana,1989
Dwiyanto, Agus, dkk. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gajah Mada Press, Yogyakarta. 2006.
Jurnal, Agenda Reformasi Birokrasi Yang Responsif, Efektif dan Efisien, By: Dr. Sofian Effendi 2 Juni 2009.
Jurnal, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN, By: PROF. DR. Musar Mustopadidjaja Juli 2003
Rasad, Fauziah. “Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Pemberantasan Korupsi.” Januari 2006.
Referensi Lain:
http://idhulaw.wordpress.com/author/idhulaw/, diakses 13 April 2011
http://sirpetermarx.blogspot.com/2010/02/pentingnya-reformasi-birokrasi-di.html, diakses 13 April 2011
http://www.tempointeraktif.com,diakses 13 April 2011
http://dede-informasihukum.blogspot.com/, diakses 13 April 2011
terima kasih artikelnya, sangat bermanfaat.
BalasHapuswww.kiostiket.com
terima kasih atas ilmunya,, semoga berkah
BalasHapus