by :Syahyuti
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani 70, Bogor
ABSTRACT
The social world consists of three main pillars which influence each other and determine social system
existing in the community including agribusiness system. Those pillars are government, market, and community
representing political, economic, and social forces in each community group. Rural agribusiness performance is
affected by those three forces either as the supporting or constraining factors. This paper deals with conceptual
review using sociological approach in rural agribusiness development. Understanding these aspects is crucial as
the basis to study various explaining factors that describe development capacity of an agribusiness system.
Results of some research show that government’s role in developing agribusiness is very dominant. This is not a
good indicator because agribusiness will get more developed if it is managed using market mechanism.
Key words : government, market, community, agribusiness system
ABSTRAK
Dunia sosial berdiri di atas tiga pilar utama, yang satu sama lain saling mempengaruhi dan ikut
mewarnai setiap bentuk sistem sosial yang hidup dalam masyarakat, termasuk sistem agribisnis. Ketiga pilar
tersebut adalah pemerintah, pasar, dan komunitas. Secara sederhana ketiganya mewakili kekuatan politik,
ekonomi, dan sosial yang selalu eksis dalam setiap kelompok masyarakat. Kinerja agribisnis di pedesaan
dipengaruhi oleh ketiga kekuatan tersebut, yang dapat menjadi faktor pendorong maupun penghambat bagi
pengembangan agribisnis. Tulisan ini merupakan review konseptual yang menggunakan pendekatan sosiologi
dalam pengembangan agribisnis di pedesaan. Pemahaman terhadap aspek ini sangat penting sebagai dasar
untuk mempelajari berbagai faktor penjelas untuk menerangkan kapasitias pengembangan suatu sistem
agribisnis. Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa, selama ini peran pemerintah dirasakan terlalu
dominan dalam upaya pengembangan agribisnis. Hal ini memberi iklim yang kurang baik, karena pada
prinsipnya agribisnis akan lebih maju bila dikembangkan dalam bentuk sebagai sebuah kelembagaan pasar.
Kata kunci : pemerintah, pasar, komunitas, sistem agribisnis
PENDAHULUAN
Kehidupan masyarakat sehari-hari se-
cara sederhana dibangun di atas tiga pilar
sebagai elemen sosial pokok, yang masing-
masing pilar secara fundamental memiliki ciri
yang khas. Masing-masing memiliki paradig-
ma, ideologi, nilai, norma, rules of the game,
dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Ketiga
pilar yang dimaksud adalah: pemerintah, pa-
sar, dan komunitas. Secara sederhana ketiga-
nya direpresentasikan sebagai kekuatan
politik, ekonomi, dan sosial. Setiap analisis
sosial hampir pasti akan sampai kepada
penganalisisan terhadap ketiga pilar ini, yang
umumnya ditulis serangkai menjadi analisis
“sosial-ekonomi-politik”.
Secara konseptual, masing-masing
pilar idealnya memiliki posisi dan peranan
yang spesifik. Dalam kehidupan nyata di ma-
syarakat ketiganya saling berinteraksi, sehing-
ga konfigurasi pengaruh di antara ketiganya
akan mewarnai dan menjadi faktor yang
memberi corak kehidupan sistem sosial secara
keseluruhan.
Secara umum, dominasi di antara
ketiga pilar dari waktu ke waktu mengalami
pergeseran mengikuti tahap perkembangan
dan peradaban masyarakat. Pola perkemba-
ngan umum yang terjadi hingga kini adalah
adanya pergeseran dominasi dari komunitas
ke pemerintah dan terakhir ke pasar. Pada era
masyarakat agraris pra-kapitalis peran komu-
nitas sangat besar, ketika negara dan pasar
belum terbentuk. Kemudian, negara mendomi-
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 54 - 62
54
nasi komunitas dan pasar pada era pemben-
tukan masyarakat modern. Perkembangan
terakhir, ketika tekanan globalisasi semakin
kuat pada dunia yang nir-batas, maka pasar-
lah yang menguasai dunia. Korporasi-korpo-
rasi transnasional mendominasi kebijakan-
kebijakan pemerintah dan komunitas, baik
pada level nasional maupun pada tingkat lokal.
Pola perubahan ini juga terjadi pada
masyarakat pertanian di Indonesia. Peradaban
pertanian pada tahap subsisten hampir sepe-
nuhnya dijalankan oleh komunitas, dengan
prinsip pertukaran sosial, contohnya adalah
pertukaran tenaga kerja berupa ”sambat-
sinambat” di Jawa dan “mapalus” di Sulawesi.
Selanjutnya, pada era Orde Baru, pemerintah
sangat berperan mulai dari menyediakan input
murah, kredit, teknologi, bahkan pemasaran
misalnya dengan dibangunnnya Bulog. Pada
tahap terakhir, pasar adalah institusi yang
paling menonjol dalam pembangunan pertani-
an, terlihat dengan dihapuskannya berbagai
subsidi untuk input dan bunga kredit. Ring-
kasnya, pembangunan pertanian pada akhir-
nya semakin diserahkan kepada mekanisme
pasar.
Permasalahan yang dihadapi dalam
pengembangan agribisnis di pedesaan adalah
belum siapnya seluruh komponen dengan
perubahan konfigurasi saling pengaruh terse-
but. Karena itulah pengembangan agribisnis
antarkomoditas dan wilayah sangat beragam.
Selain itu, satu hal yang masih lemah adalah
sulitnya mengidentifkasi peran dari institusi
manakah yang paling tepat pada satu kasus,
apakah pemerintah, pasar, ataukah komunitas.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi
gambaran ke arah pembuatan kerangka ana-
lisis, baik kepada ilmuwan maupun praktisi,
bahwa selain faktor-faktor ekonomi, permasa-
lahan sosiologis yang berkenaan dengan
peran pemerintah, pasar, dan komunitas perlu
mendapat perhatian. Tiga kelembagaan ini
diperkirakan mempunyai peran besar di dalam
memacu, mengendalikan, dan mengarahkan
perkembangan agribisnis di pedesaan baik di
masa lalu, masa kini, maupun mendatang.
Strategi pembangunan pertanian, pengemba-
ngan agribisnis, ataupun pembangunan wila-
yah pedesaan, hanya akan dapat dirumuskan
secara tepat jika mempertimbangkan bagai-
mana pembagian peran antara ketiga
kekuatan tersebut.
BEBERAPA CIRI KELEMBAGAAN
PEMERINTAH, PASAR, DAN KOMUNITAS
Perbedaan antara sistem sosial peme-
rintah (government), pasar (market), dan ko-
munitas (community) sudah menjadi pengeta-
huan umum. Bahwa sebuah negara, atau
bahkan lebih sempit pada sebuah masyarakat
di tingkat desa sekalipun, terdiri dari ketiga
komponen tersebut, juga sudah disadari
semua orang (lihat misalnya Uphoff, 1986).
Integrasi dari ketiga sistem sosial tersebut
melahirkan masyarakat (society), yang pada
level tertentu diformalkan menjadi negara
(state). Namun demikian, perbedaan secara
fundamental dan apa implikasinya dalam pem-
bangunan belum menjadi alat analisis yang
implementatif. Pada Tabel 1 dipaparkan perbe-
daan yang pokok dan hakiki antara ketiganya.
Dasar pembentukan sebuah pemerin-
tahan pada pokoknya adalah untuk melayani
masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan
pasar yang orientasi utamanya adalah kepada
keuntungan bagi pelakunya. Perbedaan yang
sangat berlawanan ini berimplikasi bahwa
Tabel 1. Perbedaan Karakteristik antara Pemerintah, Pasar, dan Komunitas Secara Konseptual
Aspek
1. Orientasi utama
2. Sifat kerja sistem sosialnya
Pemerintah
-Melayani penguasa
dan masyarakat.
-Monopolis
Pasar
-Keuntungan profit
(profit oreinted)
-Kompetitif.
Komunitas
-Pemenuhan kebutuhan
hidup komunal
-Demokratis,
berdasarkan kesetaraan
3. Sandaran kontrol sosial
-coersive
compliance.
-penuh perhitungan
(renumeration
-kultural (cultural
compliance)
compliance)
4. Bentuk simbol yang
-Pseudorealis
-Realis
-Mistis
diterapkan
5. Bentuk norma utama
-Modifikasi perilaku
-Individualis
-Komunal dan kepatuhan
PEMERINTAH, PASAR, DAN KOMUNITAS: FAKTOR UTAMA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Syahyuti
55
bidang-bidang peran yang menjadi tanggung
jawabnya sangat berbeda pula.
Perbedaan berikutnya, yaitu pada sifat
kerja sistem sosialnya, maka pemerintah
secara teoritis akan beroperasi sebagai mono-
polis. Dengan kata lain, tidak akan ditemukan
dua pemerintahan dalam satu wilayah tertentu.
Sementara pelaku pasar yang mendasarkan
kegiatannya sehari-hari kepada kompetisi
ekonomi, maka adalah lumrah ditemukannya
banyak pelaku dalam satu wilayah.
Beda dengan keduanya, komunitas
berjalan dalam prinsip-prinsip yang demokra-
tis. Artinya, demokrasi merupakan prinsip yang
naluriah yang hidup dalam satu komunitas.
Secara konseptual, apa yang dimaksud de-
ngan “demokratis” adalah melekatnya secara
erat (inherent) pengertian-pengertian tentang
persamaan, kebebasan untuk mendapatkan
manfaat, serta hak-hak asasi manusia.
Dalam Etzioni (1961) diuraikan secara
jelas, bahwa pemerintah sebagai lembaga
bentukan memiliki sandaran sosial yang me-
maksa (coersive compliance), sementara
pasar sangat penuh perhitungan (renumerative
compliance), dan komunitas kepada sandaran
kultural (cultural compliance) yang dibangun
dan diterima secara sosial. Menurut
Kuntowijoyo (1999) yang mempelajari berda-
sarkan kategori sejarah, masyarakat tradisio-
nal yang patrimonial menjadikan mistis seba-
gai simbolnya, sedangkan kontrol sosial dida-
sarkan atas norma komunal dan kepatuhan.
Pada kategori teknokratis, simbolnya bersifat
pseudo-realis dengan modifikasi perilaku se-
bagai normanya. Dan pada masyarakat
kapitalis, dengan realis sebagai simbol, dan
normanya adalah individualis.
Secara lebih detail, perbedaan antara
ketiga sistem sosial tersebut diuraikan pada
bagian berikut ini.
Pemerintah
Orientasi utama kelembagaan peme-
rintah adalah untuk melayani rakyat (dan
sekaligus penguasa), tergantung kepada corak
pemerintahannya. Pemerintahan yang demok-
ratis sangat melayani rakyatnya, namun yang
bercorak otokratis mengandung pengabdian
kepada penguasanya. Struktur kekuasaannya
yang monopolis menjadikan demokrasi meru-
pakan sesuatu yang harus diperjuangkan.
Dalam kehidupan bernegara dikenal ada 5
unsur demokrasi (Sargent, 1987), yaitu: (1)
partisipasi rakyat dalam memutuskan kebi-
jakan politik, (2) persamaan hak antar warga
negara, (3) kebebasan dan kemerdekaan bagi
semua rakyat, (4) beroperasinya sistem per-
wakilan politik, dan (5) berfungsinya sistem
pemilihan umum.
Dari penjelasan ini, terlihat bahwa
negara bukanlah semata-mata gambaran
“kelembagaan komunitas yang diperbesar”.
Secara historik terbukti, bahwa pemerintah
tidaklah terbentuk secara alamiah. Bagi
negara-negara dunia ketiga misalnya yang
pembentukan awal negaranya banyak terjadi
di era pertengahan abad ke–20, berbagai
sistem norma, hukum, struktur politik dan lain-
lain merupakan impor dari bentuk-bentuk yang
sudah lebih dahulu berkembang di belahan
dunia lain, terutama di Barat, dengan lingku-
ngan sosial yang sangat berbeda pula.
Fungsi utama pemerintah sebagai ke-
lembagaan politik adalah menjadi wadah untuk
berjalannya kelembagaan pasar dan komuni-
tas. Pemerintah dituntut bersikap sedemikian
rupa, sehingga seluruh komponen yang ada di
mayarakat dapat berjalan sesuai dengan
konsep idealnya masing-masing. Selain itu,
pemerintah juga bertanggung jawab dalam
mengkonstruksi tata hubungan antarkompo-
nen pada setiap level, baik pada level pusat
dan daerah, atau nasional dan lokal.
Sebagai kelembagaan politik, peme-
rintah merupakan wadah dimana pelaku-
pelaku ekonomi dan komunitas berinteraksi
dalam akses dan distribusi manfaat terhadap
sumber-sumber daya yang tersedia. Dalam
perannya sebagai pelayan, maka pemerintah
harus melayani pelaku bisnis maupun bukan.
Pemerintah merupakan wasit yang mengawasi
berjalannya sistem sosial sesuai dengan
tatanan yang telah disepakati. Dalam pemba-
ngunan misalnya, pemerintah tidak harus
menjadi pelaku langsung, namun cukup ha-
nya sebagai katalisator, fasilitator, dan regu-
lator.
Namun demikian, dalam kondisi ke-
lembagaan pasar belum siap misalnya, maka
pemerintah cenderung memiliki peranan yang
paling dominan dengan mengambil alih fungsi-
fungsi yang semestinya dijalankan oleh kelem-
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 54 - 62
56
bagaan pasar. Kebijakan ini dipandang tepat,
karena pemerintah memiliki struktur organisasi
yang solid dan dengan didukung oleh sumber
daya manusia yang cukup. Kebijakan ini dapat
menjadi pilihan yang baik, setidaknya dalam
kondisi tertentu.
Pasar adalah kelembagaan yang me-
wujud dalam prinsip-prinsip pertukaran. Sistem
pasar berjalan bukan oleh perintah yang
terpusat, namun oleh interaksi mutual dalam
bentuk transaksi barang dan jasa antar pelaku-
pelakunya. Menurut Lindbom (dalam Martineli,
2002:
5):“Markets
are
the
institutional
Pasar
Menurut Heilbroner (1982), pasar me-
rupakan lembaga yang tujuan dan cara
kerjanya paling jelas. Tujuan pokok pasar ada-
lah mencari laba (profit). Karena itu, seluruh
komponen di dalamnya harus melakukan
efisiensi secara maksimum, agar aturan
kerjanya tercapai, yaitu memperoleh laba yang
setinggi-tingginya.
Secara konseptual, pasar merupakan
kelembagaan yang otonom. Dalam bentuknya
yang ideal, maka mekanisme pasar diyakini
akan mampu mengatasi persoalan-persoalan
ekonomi dengan pengawasan politik dan
sosial yang minimal dari pemerintah dan
komunitas. Ini merupakan pandangan yang
paling ekstrim tentang keberadaan pasar, yang
dikenal dengan pandangan fundamentalisme
pasar (market fundamentalism).
Agar otonominya terjamin, maka pasar
membutuhkan wujud sebagai sebuah kelem-
bagaan, untuk melegitimasi otoritas pemerin-
tah dan komunitas. Caranya adalah dengan
membangun kelembagaannya sendiri, dengan
menciptakan norma dan aturannya sendiri,
embodiment of the exchange principle. A
market system is a system of society-wide
coordination of human activities, not by central
command but by mutual interaction in the form
of transactions”.
Peran pasar dalam masyarakat saat
ini sudah sedemikian besar dan diperkirakan
akan menjadi semakin besar sejalan dengan
semakin sehatnya kehidupan politik dan sosial
pada berbagai lapisan masyarakat. Pasar tak
lagi bermakna sebagai tempat atau lokasi
belaka, namun sudah meluas sebagai bagian
penentu aspek moral kehidupan kolektif di
tingkat desa hingga nasional. Pasar seolah-
olah menjadi penentu segala aturan dan gaya
hidup. Kekuatan pasar (market forces) diambil
oleh masyarakat dan negara sebagai obat
mujarab untuk menyembuhkan semua jenis
penyakit pembangunan ekonomi. “Planning is
out, market forces are in” (Evers, 1997: 80).
Dalam kehidupan sektor pertanian,
terlihat fenomena otonomnya para pedagang
hasil-hasil pertanian, dimana mereka seakan-
akan membangun dunianya sendiri. Hal ini
banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian
tata niaga pertanian, misalnya timbulnya
serta struktur keorganisasiannya sendiri.
pedagang
kaki
tangan
dan
pedagang
Secara keorganisasian, ia membangun garis
batas yang tegas dengan pemerintah dan
komunitas. Kelembagaan pasar terbentuk
tidak secara spontan, namun secara gradual
dan evolutif (Martineli, 2002).
Derajat ke-otonom-an pasar pada sua-
tu masyarakat tidaklah sama, tergantung salah
satunya pada iklim politik yang melingkupinya.
Pada negara berkembang, menurut Heilbroner
(1982), perkembangan ekonomi dalam masya-
rakat dimulai dari tingkat persiapan yang lebih
rendah, yaitu dari belum adanya pasar. Pada
perkembangan lebih lanjut, mekanisme pasar
dengan cepat menggantikan sistem “ekonomi
komando” yang umum berlaku. Ekonomi
komando di Indonesia baru terjadi selang
beberapa dekade lalu yang juga mendominasi
perekonomian pertanian dan pedesaan di
Indonesia.
komisioner (Syahyuti, 1998). Ciri kelembagaan
berupa kohesivitasnya yang tinggi juga terjadi
pada dunia pedagang. Dasar bangunan
kelembagaan mereka adalah kepercayaan
dengan menggunakan pola interaksi yang
berlangganan.
Derajat otonomi pelaku pasar yang
relatif tinggi juga dtunjukkan oleh solidaritas
sesama pedagang yang tinggi dibandingkan
dengan petani produsen. Para pedagang
mempersepsikan petani sebagai outgroup.
Pasar hasil-hasil pertanian di Indonesia telah
membentuk karakter kelembagaannya tersen-
diri. Salah satunya terlihat dari komposisi dan
struktur organ-organ di dalamnya, dimana
ditemukan pedagang biasa yang mengguna-
kan modal sendiri, pedagang kaki tangan yang
merupakan perpanjangan tangan, atau disebut
dengan pedagang pengumpul semu, dan
PEMERINTAH, PASAR, DAN KOMUNITAS: FAKTOR UTAMA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Syahyuti
57
(Zulham dan Yum, 1997), dan pedagang
komisioner yang disebut makelar atau broker
(lihat misalnya Gunawan et al., 1990). Muncul-
nya sentimen negatif terhadap petani sebagai
outgroup merupakan salah satu bukti bahwa
sesama pedagang memiliki “sentimen kolektif”
yang relatif kuat.
Dalam kondisi persaingan yang tinggi,
sesama pedagang memiliki solidaritas, misal-
nya terlihat dari cara mereka dalam membagi
risiko ataupun keuntungan. Dalam kondisi
pasar yang tidak pernah bersaing sempurna,
kepercayaan yang personalistik memiliki peran
yang sangat penting. Kuatnya interaksi antar
pedagang juga terihat dari penyediaan jasa
keuangan dan permodalan. “Jaringan neraca
kredit yang kompleks dan bercabang-cabang
adalah salah satu mekanisme yang mengikat
bersama pedagang besar maupun kecil
menjadi faktor integratif dalam pasar” (Geertz,
1989). Memperoleh hutang bagi seorang pe-
dagang kecil bukanlah semata-mata bermakna
ekonomi (modal), namun yang lebih utama
adalah indikasi terhadap berlakunya sistem
dan sebagai bagian pemeliharaan masyarakat
pasar yang telah terbentuk.
Menurut Rex (1985), pasar merupakan
interaksi bersusun yang kompleks yang meli-
puti penawaran, pertukaran, dan persaingan.
Pertukaran ekonomi merupakan bagian sentral
masyarakat modern. Dinamika pasar (dan
ekonomi) mengarahkan hampir keseluruhan
struktur sosial menurut utopia liberal-utilitarian-
individualis. Ciri khas pasar untuk mendapat-
kan untung sebesar-besarnya dan rugi sekecil-
kecilnya, diperkirakan akan mengenyamping-
kan golongan masyarakat yang tidak banyak
akses terhadap pasar, terutama golongan
miskin di pedesaan.
Pasar merupakan kelembagaan yang
tegas, dan juga sederhana. Kesedehanaannya
tampak dari orientasi kerjanya sangat sempit:
“hanya mencari keuntungan”. Kompetisi ada-
lah bentuk utama dari semangat kerjanya,
dengan kontrol sosialnya yang berbentuk
renumerative compliance (Etzioni, 1961).
Komunitas
Komunitas umumnya dipandang seba-
gai bentuk kelembagaan yang paling alamiah
dan universal. Ia menjadi kelembagaan yang
pertama dibentuk pada masyarakat manapun,
dan tidak akan kehilangan eksistensinya.
Orientasi utama terbentuknya kelembagaan
komunitas adalah kepada pemenuhan kebu-
tuhan hidup secara komunal.
Dalam masyarakat komunitas, struktur
sosial, yaitu sistem hak dan kewajiban,
digariskan dalam sistem kekerabatan. Anggota
keluarga, mulai dari keluarga batih, keluarga
luas (extended family), sampai kepada senti-
men etnik menjadi sandaran socio-economic
security (Syahyuti, 2002). Gejala ini umumnya
dapat diamati pada masyarakat yang memiliki
akar sejarah tradisional yang jelas.
Deskripsi yang tepat tentang karakte-
ristik “lembaga komunitas”, adalah sebagai-
mana gambaran masyarakat prakapitalis atau
masyarakat prapasar. Pada masa itu, kehi-
dupan sosial ditata dalam prinsip komunalitas,
egaliter, dan kesetaraan. Meskipun telah ada
pasar, namun pasar bukanlah alat yang
dipakai untuk memecahan masalah-masalah
ekonomi. Stratifikasi sosial ekonomi masyara-
kat mengikuti kekuasaan yang bersandarkan
kepada kekuasaan politik, agama, dan militer,
bukan berdasarkan stratifikasi ekonomi
(Heilbroner, 1982). Dalam pengertian sosio-
logis, “komunitas” adalah kesatuan sosial yang
terbentuk atas dasar kesatuan wilayah, bukan
kepentingan tertentu (Soekanto, 1999)
Salah satu ciri sistem sosial yang ke-
hidupannya bersandar kepada kelembagaan-
kelembagaan komunitas adalah sifat keman-
diriannya. Hal ini dibiaskan oleh sebagian ahli
menjadi bentuk masyarakat yang tertutup.
Masyarakat nelayan tradisional misalnya, cen-
derung dikatakan sebagai closed community
(Libero, 1985), karena intensitas komunikasi
yang lemah dengan komunitas lain. Sifat
pekerjaannya yang memiliki risiko yang tinggi
menyebabkan ketergantungan satu sama lain
yang besar di laut. Hal ini kemudian direflek-
sikan dalam kehidupan di daratan. Mengingat,
kebutuhan modal yang besar yang tidak
mampu dipenuhinya pada “kelembagaan
pasar” yang sangat kalkulatif dan miskin moral
kebersamaan, telah menyebabkan mereka
secara ekonomi menjadi tereksploitasi oleh
pelaku di darat.
Kesatuan dusun di desa-desa di Jawa
juga merupakan salah satu bentuk kelemba-
gaan komunitas yang masih tersisa, ketika
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 54 - 62
58
desa sudah terkooptasi oleh “atas desa”. Hasil
penelitian Sedjati et al. (2002) terhadap
berbagai program pembangunan pertanian di
pedesaan, menunjukkan bahwa program yang
diturunkan ke dusun memperoleh jaminan
keberhasilan lebih tinggi dibandingkan bila
diturunkan ke tingkat desa. Kohesivitas tingkat
dusun masih cukup kuat, yang ditunjukkan
oleh persepsi warga yang mengidentifikasinya
sebagai satu kelembagaan komunitas yang
masih hidup. Dusun atau dukuh lebih bisa
dipandang sebagai kelembagaan komunitas
daripada kelembagaan politik, maupun eko-
nomi.
Salah satu contoh bentuk kelembaga-
an pada aktivitas pertanian yang mendasarkan
diri pada bentuk kelembagaan komunitas
adalah Subak. Subak mempunyai hak otono-
mi secara penuh untuk membentuk pengurus,
keuangan, membuat peraturan (awig-awig),
melaksanakan sanksi, menjaga ketertiban dan
kesejahteraan anggota. Selain mengatur pe-
ngairan, ia juga mengatur waktu penyiapan
lahan, penaburan benih, penanaman, dan
mengatur pergiliran tanam (Teken et al.,
1988). Karena mengikuti tata saluran air, maka
karakter hidrologis dari setting ekologis per-
tanian irigasi melampaui batas-batas adminis-
trasi (Roth, 2001). Begitu besarnya sifat
otonomi yang dimiliki Subak, bahkan menjadi
penentu sistem sosial masyarakat Bali. Geertz
(1980) menyebut Subak sebagai “desa basah”,
yang kedudukannya sejajar dengan Banjar
sebagai “desa kering”.
POLA INTERAKSI ANTARA PEMERINTAH,
PASAR, DAN KOMUNITAS DALAM
PEMBANGUNAN PERTANIAN
DI INDONESIA
Secara historik, perkembangan dan
dinamika masyarakat pertanian banyak di-
warnai oleh adanya saling interaksi antara
pemerintah, pasar, dan komunitas. Pemerintah
dan pasar adalah dua entitas yang semakin
menyatu, yang secara bersama-sama semakin
melemahkan peran komunitas. Timbulnya wa-
cana civil society merupakan respon dari
semakin kuatnya peran negara yang berko-
laborasi dengan pasar tersebut. Secara
konseptual, civil society yang diterjemahkan
menjadi “masyarakat madani” atau “masyara-
kat warga”, pada hakekatnya memperjuangkan
kemandirian aktifitas warga masyarakat dalam
berhadapan dengan negara, yaitu dengan
mewujudkan nilai-nilai keadilan, persamaan,
pluralisme, dan kebebasan.
Saling tarik antara pemerintah dan
pasar, merupakan dua kekuatan utama yang
menjadi penentu berjalannya kehidupan
masyarakat pedesaan saat ini. Komunikasi
pasar berlangsung melalui transaksi dengan
harga sebagai message-nya, sementara
pemerintah mengandalkan kepada otoritas
dan power. Pasar dan pemerintah berkola-
borasi secara saling menguntungkan. Kapita-
lisme di Asia yang seringkali disebut sebagai
“kapitalisme konco” dan “kapitalisme birokrat”,
adalah bentuk-bentuk usaha yang hanya
memburu rente (rent seeker) dengan mengan-
dalkan lisensi pemerintah, proyek-proyek
pemerintah, pinjaman bank pemerintah, dan
lain-lain. Posisi birokrasi melenceng dari
pelayan masyarakat menjadi sarana untuk
mengumpulkan modal, yang bekerjasama
dengan para pengusaha bercakrawala jangka
pendek yang terdorong untuk mengejar keun-
tungan dengan cepat.
Konfigurasi saling pengaruh antara
komunitas, pemerintah, dan pasar hampir
selalu dapat ditemukan pada segala tingkatan,
dari tingkat nasional sampai lokal (Uphoff,
1986). Pola demikian juga dapat dilacak dalam
pembangunan pertanian di Indonesia, misal-
nya dalam agribisnis di pedesaan.
Secara teoritis, agribisnis adalah ben-
tuk kelembagaan yang dibangun di atas
ideologi pasar. Dengan prinsip ini, jika telah
berkembang normal, maka keterlibatan peme-
rintah semestinya sangat rendah. Namun
kenyataannya, keterlibatan pemerintah sangat
tinggi, misalnya dalam tataniaga produk per-
tanian, terutama untuk produk-produk pangan
pokok.
Pengaruh pemerintah terhadap berja-
lannya pasar pada tataniaga hasil-hasil per-
tanian terjadi dengan derajat yang beragam.
Terdapat komposisi yang bervariasi antara
“ideologi pasar” dengan politik pemerintah.
Keterlibatan pemerintah yang besar terjadi
pada produk-produk pangan utama, atau di-
kenal dengan sembilan bahan pangan pokok
(sembako), misalnya beras dan gula. Bekerja-
nya sistem ini mulai dari produksi sampai
PEMERINTAH, PASAR, DAN KOMUNITAS: FAKTOR UTAMA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Syahyuti
59
tataniaga tidak lagi terlihat sebagai sebuah ciri
kelembagaan pasar. Campur tangan yang
berlebihan telah menghasilkan inefesiensi
karena hilangnya otonomi pasar tersebut.
Bentuk kelembagaan pasar yang
dijalankan secara kuat adalah pada komoditas
yang terintegrasi dengan pasar dunia, yaitu
komoditas perkebunan misalnya minyak kela-
pa sawit dan karet serta produk olahannnya,
serta produk-produk yang tidak bersifat politis,
seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Keterlibatan pemerintah yang dipaksakan
pada produk pertanian yang bersifat politis
telah menyebabkan kehancuran sistem agri-
bisnis. Hal ini bisa dilihat pada tataniaga
cengkeh dan jeruk siam di Kalimantan Barat
beberapa waktu lalu.
Gejala tidak sehatnya perkembangan
agribisnis di pedesaan dapat dipandang seba-
gai ketidaktepatan pemerintah (atau birokrasi)
dalam memposisikan dirinya. Birokrasi menu-
rut filsafat Hegelian adalah media untuk
mempertemukan kepentingan pemerintah dan
rakyat, dengan tujuan untuk mencapai harmo-
nisasi. Karena itu, birokrasi harus bersifat
apolitik, rasionalitas dan efisien, sebagaimana
didukung Max Weber. Ini merupakan panda-
ngan optimis terhadap birokrasi yang bebas
nilai. Di sisi yang negatif, kalangan Marxis
berpendapat bahwa birokrasi hanyalah mesin
bagi kepentingan sekelompok orang yang
dominan. Ia tak pernah merepresentasikan
kepentingan umum terutama golongan masya-
rakat bawah di pedesaan.
belum sepenuhnya berfungsi baik, maka nega-
ra dapat menggantikan dengan pertimbangan
akan menurunkan transaction cost.
Kedua, tekanan kapitalisme-neolibe-
ralisme di belakang institusi pasar bebas yang
sudah menjadi kesepatakan antarnegara
berupa WTO, adalah kekuatan yang mustahil
ditolak dalam pengembangan agribisnis di
pedesaan. Tuntutan WTO pada setiap negara
agar selalu mengurangi peran pemerintah
terlihat dari “pemaksaan” terhadap negara
dunia ketiga untuk mengurangi subsidi untuk
pertanian, baik untuk sarana produksi maupun
pemasarannya.
Hubungan saling pengaruh antara pe-
merintah dan pasar tampaknya akan menjadi
penentu utama berjalannya sistem sosial dan
pembangunan pertanian ke depan. Pada saat
yang bersamaan, peran komunitas semakin
terpinggirkan, karena semakin lemahnya kebe-
radaan dan kekuatan komunitas-komunitas di
tengah masyarakat. Namun demikian, perlu
disadari bahwa antara pemerintah dan pasar
memiliki perbedaan yang mendasar, dan
saling memiliki kekuatan dan kelemahan
tersendiri.
Kelebihan pemerintah adalah jaringan
yang luas dan struktur yang stabil, namun
tidak efisien serta tidak berjiwa bisnis.
Sementara, bagi pelaku bisnis di pertanian,
kelemahan yang mendasar adalah jaringan
yang bersifat parsial dan segmentatif. Dengan
adanya perbedaan antara keduanya, maka
solusi yang ilmiah adalah membagi-bagi peran
sesuai
dengan
karakteristiknya
masing-
KE ARAH PEMBENTUKAN POLA
INTERAKSI IDEAL DALAM
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
DI PEDESAAN
Jika pada masa Orde Baru pemerintah
adalah kelembagaan yang memiliki kekuatan
paling besar dibanding yang lain dalam
pembangunan pertanian, maka pada periode
berikutnya peran pasar tampaknya akan
menggantikannya. Setidaknya ada dua faktor
pendorong perubahan ini yaitu: Pertama,
karena secara teroritis pasar adalah kelemba-
gaan yang paling andal, meskipun penuh
masing, dengan mempertimbangkan kelebihan
dan kekurangannya. Perbedaan mendasar
yang terjadi pada kelembagaan komunitas,
pemerintah, dan pasar; semestinya dipandang
sebagai asset untuk mengelola kehidupan
sosial yang terus berkembang dinamis. Ketiga-
nya mempunyai kelebihan dan kekurangan,
dan karena itulah harus diberi ruang hidupnya
sendiri-sendiri. Namun bagaimana komposisi-
nya yang sesuai, itulah persoalannya yang
penting untuk diformulasikan.
Dalam konteks saling tarik ulur antara
pasar dan komunitas, cukup banyak saran
yang diajukan, antara lain agar petani terlibat
persyaratan, misalnya jika individu
well
secara langsung dalam pemasaran. Namun,
informed, dan hukum kepemilikan berlaku
dengan baik. Pada situasi kelembagaan pasar
untuk mengubah posisi dari petani yang
semula hidup dalam iklim masyarakat komu-
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 54 - 62
60
nitas menjadi pedagang terbentur berbagai
kendala moral yang tidak ringan. Salah satu
kendalanya adalah apa yang disebut Evers
(1993) dengan “terperangkap di tengah”, yaitu
fenomena yang melekat pada pedagang kecil
yang terperangkap antara moral masyarakat
desa dan kota, serta antara ekonomi moral,
yaitu sifat yang menjunjung tinggi solidaritas
desa dengan tuntutan anonim yang bersifat
anarkis di pasar terbuka.
Perbedaan moral antara petani dan
pedagang menjadi sulit disatukan, karena
pada dasarnya watak kelembagaannya
berbeda. Ketegangan hubungan antara petani
dan pedagang masih saja terjadi, walaupun
pemerintah telah melakukan berbagai upaya
untuk mengatasinya. Usaha untuk menyatukan
mereka dalam “program kemitraan” yang per-
nah menjadi program nasional, relatif kurang
berhasil. Aktivitas pedagang umumnya berlan-
daskan kepada moral cari untung dan interaksi
yang terjadi bersifat impersonal; sedangkan
sebagian besar petani umumnya masih terikat
pada moral “cari selamat” (Scott, 1993).
Romantisme hubungan personal masih ba-
nyak mewarnai kehidupan petani di pedesaan.
Berbagai dinamika ini sangat menentukan apa
yang terjadi di tingkat mikro. Aktivitas-aktivitas
yang semestinya dikelola menurut bentuk
“kelembagaan komunitas” menjadi tidak efektif
ketika cara bekerjanya tidak lagi mengikuti
kaidah-kaidah teoritisnya.
Paradigma modernisasi berpandangan
bahwa evolusi kelembagaan komunitas menu-
ju kelembagaan pasar adalah suatu kenisca-
yaan. Masyarakat menjadi modern bila telah
memiliki strukur, manajemen, dan rasionalitas
berdasarkan dunia ekonomi kapitalis. Apa
yang disebut dengan “masyarakat komunitas”,
yang dicirikan oleh kelembagaan komunitas-
nya yang kuat, sangat berbeda dengan
“masyarakat pasar” yang semangat kerjanya
didasarkan pada pencarian laba yang setinggi-
tingginya. Masyarakat komunitas mengutama-
kan hubungan yang personal, dengan norma
interaksi utamanya resiprositas. Sementara
masyarakat pasar menjunjung dalil-dalil eko-
nomi dalam bertindak sehari-hari, dengan
norma utamanya adalah hubungan berdasar
kontrak atau transaksi.
Namun, dalam penelitian Saptana et
al. (2003), ditemukan suatu kerjasama yang
saling menguatkan antara kelembagaan pasar
dengan komunitas dalam mengembangkan
kelembagaan permodalan di pedesaan. Keter-
libatan tokoh-tokoh masyarakat yang tentu
saja bekerja di atas prinsip-prinsip moral
komunitas, ternyata sangat membantu dalam
mendisiplinkan para anggota sebagai peneri-
ma kredit pada Lembaga Perkreditan Desa
(LPD) di Bali dan Unit Pengelola Keuangan
Desa (UPKD) di Bengkulu. Hal ini merupakan
suatu strategi yang cerdik dalam memanfaat-
kan moral komunitas dalam aktifitas ekonomi
pasar.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari uraian di atas telah dipaparkan
bahwa baik secara teoritis maupun faktual,
pembangunan pertanian atau pengembangan
agribisnis secara lebih sempit, adalah hasil
interaksi dari tiga kekuatan utama yang saling
tarik menarik, yaitu pemerintah, pasar, dan
komunitas. Secara lintas waktu, terjadi peru-
bahan dominasi peran di antara ketiganya.
Pada masyarakat tradisional atau prakapitalis
hampir semua masalah dapat diselesaikan
dalam lembaga komunitas. Pada masa selan-
jutnya, pemerintahlah yang mengambil alih
semua tanggung jawab, terutama ketika
kemampuan komunitas sudah tidak memadai
lagi untuk mengatasi masalah dalam skala
yang luas, dan pada saat itu kelembagaan
pasar belum memadai untuk banyak berperan.
Pada perkembangan terakhir, tuntutan neo-
liberalisme berupa pasar bebas yang meng-
globalisasi semakin mendorong, bahwa pasar-
lah sebagai sarana yang paling efisien dalam
menjalankan masyarakat, termasuk dalam
pembangunan pertanian.
Namun demikian, kecepatan perkem-
bangan sosial ekonomi masyarakat di setiap
wilayah di Indonesia sangat beragam. Kebe-
radaan institusi pasar antarkomoditas dan
antar wilayah juga sangat beragam kemam-
puannya. Dengan alasan itu, maka menyerah-
kan seluruh tanggung jawab pembangunan
agribisnis hanya kepada mekanisme pasar
tentu bukan merupakan solusi yang tepat.
Dalam kondisi pasar yang lemah, maka
peranan pemerintah tetap dibutuhkan. Demiki-
an pula halnya dengan kebutuhan terhadap
kelembagaan komunitas. Dalam situasi ren-
PEMERINTAH, PASAR, DAN KOMUNITAS: FAKTOR UTAMA DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN Syahyuti
61
dahnya ketersediaan modal usahatani, maka
pemenuhan tenaga kerja yang tidak melalui
mekanisme pasar, namun misalnya dipenuhi
melalui “arisan kerja” berupa sambat sinambat
atau mapalus, masih dibutuhkan.
Tantangan yang paling pokok terha-
dap penerapan konsep ini dalam pengemba-
ngan agribisnis ini adalah bagaimana menge-
nali kondisi yang dihadapi, serta kemudian
memformulasikan pihak mana yang diharap-
kan berperan lebih besar sehingga kecepatan
pengembangan agribisnis di pedesaan dapat
menjadi lebih baik. Menyerahkan sepenuhnya
kepada mekanisme pasar, atau memilih kom-
binasi antara mekanisme pasar dengan regu-
lasi pemerintah dan dengan dukungan ikatan-
ikatan sosial dalam kesatuan komunitas,
adalah pertanyaan yang perlu dijawab dalam
pengembangan agribisnis suatu komoditas.
(eds.). 1985. Small Scale Fisheries in Asia:
Socioeconomic Analisys and Policy. The
International Development Research
Center (IDRC).
Martineli, Alberto. 2002. Market, Governments,
Communities and Global Governance.
Paper: Presidential Adress ISA
(International Sociologist Association) XV
Congress Brisbane 2002. 20 hal.
Rex, John. 1985. Analisa Sistem Sosial. PT Bina
Aksara. Alih Bahasa: Sahat Simamora.
Buku asli: “Social Conflict”.
Roth, Dick. 2001. Antara Subak dan P3A: Peran
Regulasi Negara dan Subak Bali dalam
Manajemen Irigasi Lokal di Wilayah
Transmigrasi Petani Bali di Kabupaten
Luwu, Sulsel. hal. 189-226. Dalam: Benda-
Beckman, Franz von; K. von Benda-
Beckman; dan J. Koning (eds.) 2001.
Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Sargent,
L.I. 1987. Ideologi-Ideologi Politik
Kontemporer. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani.
Etzioni, Amitai. 1961. Comparative Analysis of
Complex Organizations. The Free Press of
Glencoe, Inc. USA.
Evers, Hans-Dieter. 1993. Dilema Pedagang Kecil:
Teori Sosiologis tentang Perubahan di
Sektor Informal di Jawa. Hal 240-254.
Majalah Analisis CSIS, Jakarta. Tahun
XXII No. 3 Mei-Juni 1993.
Geertz, Clifford. 1980. Organization of the Balinese
Subak. Dalam: Coward, E.W., Jr (ed.)
1980. Irrigation anad Agricultural
Development in Asia: Perspective From
Social Sciences. Cornel University Press,
Ithaca/London.
Geertz, C. 1989. Penjaja dan Raja. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Gunawan, M. et al. 1990. Studi tentang Sistem
Pemasaran Ubi Kayu di Indonesia.
Laporan Penelitian. Bappenas dan Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian,
Bogor. 316 hal.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 384 hal.
Sedjati, WK.; T. Pranadji; Syahyuti; H. Tarigan; dan
B. Wiryono. 2002. Strategi Keorganisasian
Petani untuk Pengembangan Kemandirian
Perekonomian Pedesaan. Laporan Pene-
litian. PSE, Bogor.
Soekanto, Soerjono. 1999. Sosiologi: Suatu
Pengantar. Edisi Baru, Cet. 28. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Syahyuti. 1998. Beberapa Karakteristik dan Perilaku
Pedagang Pemasaran Komoditas Hasil-
Hasil Pertanian di Indonesia. Majalah
Forum Agro Ekonomi. Vol. 16. No. 1, Juli
1998.
Syahyuti. 2002. Pembentukan Struktur Agraria pada
Masyarakat Pinggiran Hutan. Tesis pada
Jurusan Sosiologi Pedesaan. IPB, Bogor.
Teken, I.B. et al. 1988. Irigasi Subak di Bali. Hal. 67-
88. Dalam: Pasandaran, Effendi dan
Donald C. Taylor. 1988. Irigasi: Kelemba-
gaan dan Ekonomi. Jilid 2. Yayasan Obor
Heilbroner,
Robert
L.
1982.
Terbentuknya
Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
Masyarakat Ekonomi. Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. PT
Tiara Wacana, Yogyakarta. 166 hal.
Libero, Aida R.; Rebecca F. Catolla; dan Rita M.
Fabro. 1985. Socioeconemic Condition of
Small-Scale Fisherman and Fish Farmers
in the Philippines. Dalam: T. Panayatou
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Develop-
ment: An Analytical Sourcebook With
Cases. Kumarian Press. Daftar Bacaan.
Zulham, Armen dan M. Yum. 1997. Pemasaran dan
Pembentukan Harga. Bab VIII hal. 319-
354. Dalam: Beddu Amang, MH Sawit, dan
A. Rachman (ed). Ekonomi Kedelai di
Indonesia. IPB Press, Bogor. 486 hal.
FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI. Volume 22 No. 1, Juli 2004 : 54 - 62
62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar