Senin, 18 April 2011

Tugas Teori Manajemen Publik

By: Ana Jauharul Islam
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era otonomi daerah sekarang ini tantangan yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah Indonesia cukup berat. Masa transisi sistem pemerintahan daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Th. 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 32 Th. 2004 telah membawa beberapa perubahan yang mendasar. Pertama, daerah yang tadinya sebelum berlakunya UU No. 22 Th. 1999, otonomi yang dimiliki pemerintah daerah hanyalah otonomi nyata dan bertanggung jawab saja, tetapi dengan berlakunya UU No. 22 Th. 1999 menjadi otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
Kewenangan otonomi luas adalah:
Keleluasaan daerah untuk menyelengarakan kewenangan yang mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang bulat dan utuh dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah:
Keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab berupa:
Perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam mewujudkan tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Permasalahan kedua yang dihadapi pemerintah daerah sehubungan dengan adanya otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab adalah masalah birokrasi. Birokrasi yang ada sekarang ini harus disesuaikan untuk dapat melaksanakan sistem otonomi daerah yang baru.
Dalam kaitan dengan perubahan sistem birokrasi ini, maka ada isu sentral yang menjadi dasar dari perubahan itu, yaitu terciptanya good governance (pemerintahan yang baik). Agar good governance terlaksana ada beberapa asas yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Adanya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan terhadap masyarakat.
2. Terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
3. Terselenggaranya pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
4. Adanya partisipasi aktif dari masyarakat.
5. Adanya pengawasan yang intensif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kesemua syarat good governance yang telah disebutkan di atas, ingin dipenuhi melalui restrukturisasi kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang dilakukan.
Berkaitan dengan restrukturisasi yang akan dilakukan ini, telah diberikan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Akan tetapi belum lama PP ini berjalan, telah dilakukan perubahan melalui PP No. 8 Th. 2003. Adanya perubahan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa PP No. 84 Th. 2000 sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan perkembangan penataan Pemerintah Daerah.
Ada masalah birokrasi yang dihadapi semua Pemerintah Daerah sehubungan dengan restrukturisasi yang didasarkan pada PP No. 8 Th. 2003. Pertama, di dalam aspek kelembagaan akan terjadi penyempitan struktur kelembagaan. Hal ini akan menimbulkan beberapa jabatan hilang dan akan dirasakan oleh PNS di lingkungan Pemerintah Daerah. Akan tetapi di sisi lain, akan terjadi efisiensi anggaran (sesuai dengan tujuan PP No. 8/2003). Kedua, adalah belum melembaganya karakteristik good governance di dalam pemerintahan daerah, baik dari segi struktur dan kultur serta nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan kaidah good governance di pemerintah daerah masih bersifat sloganistik.
Ketiga, yang muncul di bidang kelembagaan, yaitu dilema terhadap penciutan (likuidasi) lembaga-lembaga daerah. Sebagaimana diketahui pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu pendanaan, personil, peralatan, dan pengelolaan. Bila keempat faktor itu dikembangkan di daerah, maka biasanya akan menimbulkan kendala pendanaan. Untuk itu jalan pintas yang dapat dilakukan adalah dengan melikuidasi lembaga-lembaga daerah.
Keempat, keberlanjutan pembangunan daerah memerlukan institusi lokal yang mampu dan berdaya dalam menghadapi tantangan dan perubahannya. Saat ini memang ada upaya-upaya untuk membentuk institusi baru, tetapi tidak memperhatikan keberadaan-keberadaan institusi yang mungkin jika ditingkatkan dan diberdayakan, dapat menjalankan peran baru dan menjawab berbagai tantangan baru. Institusi-insitusi itu harus mampu mewadahi perubahan di segala aspek: sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Kelima, restrukturisasi kelembagaan akan mengakibatkan penganguran terselubung atau dipensiunkan/pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, banyak daerah akan menerima beban permasalahan sosial dan ekonomi yang bertambah berat.
Keenam, adalah permasalahan profesionalisme tidak jalan, sehingga berpengaruh kepada kelembagaan. Dinamika perkembangan masyarakat sangat cepat, dengan permasalahan yang semakin multidimensional, menuntut Pemda menangani permasalahan daerah secara tepat dan profesional. Di samping itu, masih sering terjadi penempatan pegawai tidak sesuai dengan keahliannya.
Permasalahan lainnya, adalah meningkatnya kecenderungan untuk merekrut dan mempromosikan pegawai yang merupakan putera asli daerah, sehingga penerimaan pegawai sering kali tidak diawali dengan analisis kebutuhan yang rasional, tetapi lebih pada pertimbangan emosional dan euforia reformasi yang masih banyak dirasakan di daerah-daerah. Di samping itu ditemukan juga adanya beberapa pejabat daerah yang terlibat KKN, birokrasi lamban, tidak responsif, tidak transparan, dan sebagainya.
Sementara itu sekarang ini masih ditemukan berbagai kelemahan birokrasi pemerintahan di daerah, yaitu:
Struktur organisasi dan tata kerja yang dibuat oleh masing-masing Pemda hanya sekadar menampung personel dalam suatu jabatan struktural. Struktur dan lembaga yang baru dibentuk, baik karena penggabungan maupun penggantian sering kali hanya dilakukan untuk mengakomodasikan jumlah personel yang berlebih dan upaya menyiasati anggaran. Pembentukan struktur tidak melalui pengkajian yang matang sehingga tidak efektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu tidak tersedianya SDM yang terampil dan memiliki kemampuan di bidang itu menjadi salah satu faktor penyebab ketidakefektifan birokrasi pemerintah daerah.
1. Partisipasi rakyat masih rendah.
2. Transparansi belum berjalan.
3. Mekanisme kerja dan pembagian tugas yang tumpang tindih akan menyulitkan kalangan internal dan masyarakat dalam berurusan dengan Pemda.
4. Politisasi PNS tetap menggejala.
5. Sistem karier yang tidak jelas membuat persaingan yang tidak sehat.
Di Pemerintah Kabupaten Sleman, masalah yang muncul pada masa berlakunya PP No. 84 Th. 2000 adalah adanya ketugasan yang tumpang tindih, volume kerja ada yang terlalu besar dan ada yang terlalu kecil, kurang didukung sumber daya aparat, kurangnya anggaran dan sarana yang memadai, serta kurang optimalnya koordinasi antar satuan organisasi. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi tersebut dalam restrukturisasi yang akan dilakukan berdasarkan PP No. 8 Th. 2003 akan diminimalisir, sehingga akan dihasilkan struktur kelembagaan yang lebih baik. Dalam hal ini pedoman yang akan dipergunakan untuk menyusun struktur organisasi yang baru ini banyak yang berbeda dari ketentuan yang sebelumnya. Salah satu ketentuan yang berubah adalah mengenai jumlah maksimal dinas. Pada PP No. 84 Th. 2000 ditentukan di tingkat Kabupaten/Kota sebanyak-banyaknya mempunyai 15 Dinas Daerah dan 12 LTD (Lembaga Teknis Daerah, sedangkan menurut PP No. 8 Th. 2003 ditentukan sebanyak-banyaknya ada 14 Dinas dan 8 LTD. Adanya penghapusan Dinas dan LTD ini dapat membawa konsekuensi kepegawaian yang . Selain itu ada pula penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan PP No. 8 Th. 2003. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana proses restrukturisasi kelembagaan Pemerintahan Kabupaten Sleman, dan kendala-kendalanya.

B. Landasan Teori
Menurut Bernard (dalam Syamsi), organisasi adalah kumpulan individu yang terkoordinasi secara sadar, sehingga bisa juga dinyatakan
sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai kegiatan yang saling berhubungan. Di lain pihak Thomson (dalam Thoha) mengatakan bahwa organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekolompok tujuan.
Dari definisi organisasi di atas dapat diketahui bahwa organisasi memiliki makna antara lain :
1. Organisasi memiliki unsur kerjasama dari individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Organisasi memiliki bentuk atau stuktur.
3. Anggota organisasi memiliki bakat bakat tertentu untuk melakukan tugas-tugasnya.
Di lain pihak Allen (dalam Sutarto) merumuskan organisasi sebagai proses menetapkan dan mengelompok-kelompokkan pekerjaan yang akan dilakukan, merumuskan, melimpahkan tanggung jawab dan wewenang, menyusun hubungan dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerjasama secara efektif dalam mencapai tujuan. Dari pengertian tersebut organisasi lebih menekankan proses menetapkan dan mengelompokan pekerjaan sesuai dengan tanggungjawab dan wewenangnya.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, dikenal organisasi pemerintahan. Organisasi ini dikenal dengan sebutan birokrasi pemerintahan. Birokrasi pemerintahan ini mempunyai struktur organisasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22 Th. 1999 organisasi pemerintahan dituntut untuk melakukan pengembangan organisasi, khususnya dalam kaitannya dengan tuntutan pelaksanaan otonomi daerah. Pengembangan organisasi ini berupa pembentukan struktur organisasi baru yang dibutuhkan dalam melaksanakan tuntutan otonomi, dan di lain pihak juga merupakan peleburan dan likuidasi struktur organisasi yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
Untuk memberikan pedoman dalam penyusunan struktur perangkat daerah telah dikeluarkan PP No. 8 Th. 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Di dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan perangkat daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan kebutuhan daerah (Pasal 1 No.7 PP No. 8 Th. 2003).
Menurut Milton J. Esman (dalam Joseph) lembaga diartikan sebagai suatu organisasi formal yang menghasilkan perubahan melindungi perubahan, dan jaringan dukungan-dukungan yang dikembangkannya. Sementara Martin mengatakan secara sosiologis lembaga menunjukkan pola normatif yang dapat merumuskan cara bertindak atau hubungan sosial yang wajar, sah atau diharapkan.
Sedangkan pengembangan kelembagaan menurut Arturo adalah :
“Sebagai proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia. Proses ini dapat secara internal digerakan oleh manajer sebuah lembaga atau dicampurtangani atau disponsori oleh pemerintah atau badan-badan pembangunan”.
Lebih lanjut dikatakan sasaran yang ingin dicapai dari pengembangan organisasi adalah untuk mempermudah organisasi dalam melakukan perubahan, menghindarkan organisasi dari keruntuhan, keusangan dan kekakuan. Pengembangan organisasi perlu dilakukan karena organisasi hidup dalam dunia yang berubah dengan cepatnya, maka organisasi harus mampu melakukan inovasi dan kreativitas untuk mempertahankan kemajuannya.
Dalam menghadapi berbagai tantangan penyebab perubahan tersebut organisasi dapat menyesuaikan diri dengan jalan :
1. Merubah struktur yaitu menambah satuan, mengurangi satuan, merubah kedudukan satuan, menggabungkan beberapa satuan tugas yang lebih besar, menjadi satuan yang lebih kecil, merubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi atau sebaliknya, merubah alur kontrol, merinci kembali kegiatan atau tugas, menambah pejabat, serta mengurangi pejabat.
2. Merubah tata kerja meliputi : tata cara, tata aliran, tata tertib, dan syarat-syarat melakukan pekerjaan.
3. Merubah sifat orang, sikap, tingkah laku, perilaku, dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan.
4. Melengkapi sarana kerja , menambah peralatan kerja.
Keempat macam perubahan tersebut saling berkaitan, satu sama lain. Sedangkan ciri-ciri perubahan yang berhasil itu menurut Siagian adalah :
1. Kemampuan bergerak lebih cepat dalam arti lebih inovatif dan tanggap terhadap tuntutan lingkungannya.
2. Sadar tentang pentingnya komitmen pada peningkatan mutu produk yang dihasilkan, berupa barang dan atau jasa.
3. Peningkatan keterlibatan para anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut karier, pekerjaan dan penghasilannya.
4. Orientasi pada pelanggan yang kemampuan membeli, preferensi dan kecenderungannya perilaku selalu berubah.
5. Organisasi yang strukturnya menjurus kepada bentuk yang semakin datar dan bukan piramida, antara lain berkat penerapan teknologi dan perubahan kultur organisasi.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 dilakukan proses restrukturisasi kelembagaan pada setiap Pemerintah Daerah. Adapun tujuan dari proses restrukturisasi kelembagaan adalah untuk menghasilkan organisasi pemerintahan daerah yang bisa menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif.
Dalam hal ini implementasi kelembagaan menurut PP Nomor 8 Tahun 2003 tidak lepas dari tahapan-tahapan implementasi sebagai berikut:
1. Perumusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Garis-garis Besar Haluan Negara atau Keputusan Mahkamah Agung,
2. Implementasinya oleh satu atau lebih badan-badan administratif (administrative agencies) dan barangkali pula badan-badan peradilan bawahan (Pengadilan Negeri),
3. Reformulasinya oleh pembuat kebijaksanaan asli (pemrakarsa kebijaksanaan) atas dasar keberhasilan dan kendala-kendala yang dialami selama berlangsungnya proses implementasi.

C. Analisis Dengan Mengunakan Teori Manajamen Publik
Kalau kemudian kita melihat kembali pada pembahasan diatas tadi yakni tentang Restrukturisasi kelembagaan, sebelum kita menerapkan permasalahan tersebut diatas dengan berbagai teori-teori yang ada, maka ada baiknya kita menelaah kembali pengertian restrukturisasi kelembagaan bawasanya hal tersebut adalah perubahan struktur organisasi kelembagaan menjadi struktur yang lebih baik, lalu hal apa kemudian yang menjadi permasalahan pada pemda kota Yogyakarta yang pertama adalah:
• ketersediaan anggaran yang sangat terbatas. Hal ini sering kali menyulitkan, terutama dalam hal alokasi anggaran
• limpahan pegawai dari pusat. Pegawai yang dilimpahkan pusat rata-rata memiliki eselon setingkat kepala dinas bahkan lebih, sehingga bisa menimbulkan ketegangan antar pejabat asli daerah dengan pegawai limpahan tersebut.
Dihadapkan pada persoalan-persoalan tersebut, restrukturisasi kelembagaan Kota Yogyakarta harus dilakukan secara hati-hati, sehingga bisa meminimalisir dampak negatif yang mungkin timbul. Persoalan restrukturisasi kelembagaan harus dimaknai sebagai proses bertahap yang harus mendapat evaluasi dari waktu ke waktu, sampai terbentuk struktur pemerintahan di tingkat daerah yang benar-benar mencerminkan kebutuhan dan sesuai dengan potensi serta beban tugas yang ada.
Kalau kemudian kita ingin bagaimana mewujudkan restrukturisasi kelembagaan yang sesuai dengan keinginan semua pihak maka teori pertama yang akan kita gunakan adalah:
Permasalahan pertama Pengamatan selama pemberlakuan pelaksanaan otonomi daerah yang berlangsung enam tahun ini menunjukkan sekalipun daerah diberi kewenangan yang memadai dengan dukukungan legitimasi politik yang memadai dari DPRD dan rakyat, ternyata tidak memiliki kemampuan yang efektif mengelola pemerintahan. Ukuran kapasitas ini bisa dilihat dari kegagalan pemerintah daerah (pemda) dalam memecahkan berbagai persoalan publik.
Persoalan dasar yang dihadapi bukan pada keterbatasan dukungan anggaran, kewenangan atau sumber daya manusia yang kurang memadai, tetapi pada persoalan dasar yang sejauh ini subtansinya sama dengan pemerintahan pada era Orde Baru, yaitu masih dominannya birokrasi sebagai agen tunggal dalam mengelola berbagai pelayanan publik. Oleh sebab itu, yang terjadi sekarang pemda bukan kekurangan dana untuk mengelola pembangunan, tapi dana APBD masih menjadi rebutan kepentingan para pejabat birokrasi pemda dan para anggota DPRD yang berakibat kepentingan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat menjadi terabaikan.
 Teori sociocybernetics approach (Rhodes, 1996)
Inti pendekatan ini ialah sejalan dengan pesatnya perkembangan masyarakat dan kian kompleksnya isu yang harus segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy making), hasil akhir (outcome) yang memuaskan dari kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan sektor pemerintah.
Artinya disini peran pemerintah sangat penting diharapkan untuk bagaimana kemudian membuat sebuah kebijakan yang efektif,inovatif dan efisien sehingga lalu bagaimana masyarakat juga tidak hanya menunggu saja tetapi kemudian juga ikut membantu pemerintah sehingga lahirlah permasalahan yang kedua.
Permasalahan kedua yang dihadapi pemerintah daerah sehubungan dengan adanya otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab adalah masalah birokrasi. Sesuai dengan permasalahan tersebut diatas (permasalahan yang kedua) yaitu untuk bagaimana menjadikan struktur kelembagaan yang berkualitas atau dngan katalain yaitu bagaimana mewujudkan good governance.
 Teori Governance
Dalam teori governance ini menyangkut bagaimana mensingkronkan ketiga aktor yaitu pemerintah sebagai pembuat kebijakan, kemudian swasta adalah implementasi dari kebijakan tersebut,sedangkan masyarakat sebagai pengontrol kinerja pemerintah, sehingga kalau kemudian kita kaitkan dengan restrukturisasi bagaimana ketiga sector tersebut nantinya dapat membuat kelangsungan restrukturisasi menjadi lancar, namun kendala yang dihadapi oleh teori governance diatas tidaklah sedikit yang paling mengwatirkan adalah merajarelanya korupsi pada sektor publik untuk itu diperlukan dua teori untuk mengatasi masalah tersebut diatas.
 Yang pertama adalah teori perburuan rente (rent-seeking).
Istilah ‘rente’ merujuk pada klasifikasi Adam Smith tentang balas jasa faktor produksi. Upah adalah balas jasa bagi tenaga kerja, profit bagi pengusaha, sementara rente adalah balas jasa bagi aset. Bunga pinjaman, sewa tanah atau bangunan adalah beberapa contoh rente.
Masalah timbul ketika pelaku ekonomi berusaha mendapatkan rente dari aset yang bukan miliknya. Bagaimana seseorang bisa memperoleh rente dari aset yang bukan milik pribadinya (atau dari aset yang tidak seharusnya menjadi milik pribadi siapapun)? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menelusuri dari mana hak kepemilikan berasal: politik dan hukum. Sumber rente adalah kekuatan monopoli, atau wewenang untuk memberikan hak monopoli, yang dimiliki pemerintah. Pemerintah punya wewenang untuk menerbitkan kartu identitas (paspor, KTP), melakukan jual-beli (peralatan militer), atau memberikan fasilitas monopoli bagi pihak swasta (lisensi ekspor). Inilah fokus dari studi-studi tentang perburuan rente – bagaimana pelaku ekonomi mempengaruhi proses politik untuk memperoleh rente. Dalam ilmu ekonomi, yang dianggap pionir dari studi-studi tentang perburuan rente adalah Gordon Tullock. Istilah rent-seeking sendiri dipopulerkan oleh Anne Kruege Perhatikan bahwa perburuan rente di sini adalah terminologi yang luas. Ia mencakup berbagai jenis kegiatan; legal maupun ilegal, berdampak positif, negatif maupun netral. Korupsi adalah bentuk perburuan rente yang ilegal, sementara lobbying secara umum adalah legal (dalam kondisi tertentu). Perlu diingat bahwa legal tidaknya sebuah aktifitas perburuan rente tidak berkaitan dengan apakah kegiatan itu menimbulkan kerugian bagi ekonomi. Bisa dikatakan lobbying menimbulkan kerugian karena ada sumber daya yang hilang, yang mungkin bisa digunakan untuk kegiatan lain yang produktif. Sebaliknya, untuk kasus-kasus tertentu korupsi belum tentu menjadi biaya neto.
 Teori yang kedua adalah teori atasan-bawahan (principal-agent)
Teori ini melihat relasi antara dua pihak dengan tujuan serta insentif berbeda yang terjadi dalam situasi informasi yang tidak seimbang atau asimetris. Pihak pertama, atasan (principal), memiliki sebuah tujuan akhir yang diinginkan. Untuk mencapai tujuan itu, atasan mendelegasikan pekerjaan ini pada bawahan (agent) dengan insentif atau kompensasi tertentu. Atasan dan bawahan di sini tidak selalu identik dengan hirarki dalam perusahaan atau organisasi. Dalam konteks pemerintahan, misalnya, pejabat publik dan anggota parlemen adalah bawahan sementara pemilih adalah atasan.
Dalam kondisi ideal, atasan bisa memonitor penuh kinerja bawahan, dan tujuan akhir yang ditetapkan atasan akan tercapai tanpa deviasi. Tapi seringkali kondisi ideal ini tidak terjadi. Biaya untuk mengawasi bawahan setiap saat akan terlalu tinggi. Sementara itu, bawahan juga memiliki sejumlah kepentingan pribadi yang ingin ia penuhi. Di sinilah ruang untuk korupsi terbuka. Pihak ketiga bisa mendapat keuntungan dengan menawarkan sejumlah imbalan pada bawahan untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang diinginkan atasan. Seperti halnya perburuan rente, transaksi antara bawahan dan pihak ketiga belum tentu selalu berupa korupsi. Juga belum tentu selalu menghasilkan kerugian neto pada perekonomian.
 Teori Pengembangan Organisasi
Teori ini lahir disebabkan oleh sasaran yang ingin dicapai yaitu untuk mempermudah organisasi dalam melakukan perubahan, menghindarkan organisasi dari keruntuhan, keusangan dan kekakuan”. Karena organisasi hidup dalam dunia yang berubah dengan cepatnya, maka organisasi harus mampu melakukan inovasi dan kreativitas untuk mempertahankan kemajuannya.
Perubahan ini khususnya yang berkaitan dengan aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas organisasi dan membantunya dalam menanggapi perubahan dari faktor lingkungan. Tantangan penyebab perubahan yang berasal dari lingkungan menurut Sutarto (414;1978) misalnya : adanya peraturan baru, perubahan kebijaksanaan dari organisasi tingkat yang lebih tinggi, perubahan selera masyarakat terhadap produksi pabrik, perubahan mode, dan perubahan gaya hidup masyarakat.
Dalam menghadapi berbagai tantangan penyebab perubahan tersebut organisasi dapat menyesuaikan diri dengan jalan :
I. Merubah struktur yaitu menambah satuan, mengurangi satuan, merubah kedudukan satuan, menggabungkan beberapa satuan yang lebih besar, memecah satuan besar menjadi satuan-satuan yang lebih kecil, merubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi atau sebaliknya, merubah luas sempitnya rentangan kontrol, merinci kembali kegaiatan atau tugas, menambah pejabat, mengurangi pejabat
II. Merubah tatakerja yang dapat meliputi tatacara, tata aliran, tatatertib, dan syarat-syarat melakukan pekerjaan.
III. Merubah orang, dalam pengertian merubah sikap, tingkah laku, perilaku, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan keterampilan dari para pejabat.
IV. Merubah peralatan kerja.
Sehingga lalu bagaimana kemudian Ciri-ciri Perubahan organisasi yang berhasil adalah:
i. Kemampuan bergerak lebih cepat dalam arti lebih inovatif dan tanggap terhadap tuntutan lingkungannya.
ii. Sadar tentang pentingnya komitmen pada penigkatan mutu produk yang dihasilkan, berupa barang dan atau jasa.
iii. Peningkatan keterlibatan para anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut karier, pekerjaan dan penghasilannya.
iv. Orientasi pada pelanggan yang kemampuan membeli, preferensi dan kecenderungannya perilaku selalu berubah.
v. Organisasi yang strukturnya menjurus kepada bentuk yang semakin datar dan bukan piramida, antara lain berkat penerapan teknologi dan perubahan kultur organisasi.




D. Kesimpulan

Dari pendapat-pendapat diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembentukan/pengembangan maupun pengurangan organisasi harus melaui berbagai pertimbangan-pertimbangan yang cermat, karena jika perubahan tersebut hanya sifatnya situasional dan tanpa pertimbangan perkembangan organisasi masa depan, maka tujuan organisasi tidak akan tercapai dan hanya terjadi pemborosan materi, maupun pemikiran dan yang paling sensitif adalah timbulnya masalah-masalah sosial. Oleh sebab itu pembentukan satuan organisasi hendaknya diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi serta mengacu kepada pedoman-pedoman pembentukan satuan organisasi.
Dari beberapa permasalahan pengembangan (analisis kelembagaan) menyangkut sistim manajemen, termasuk penentuan dan evaluasi, struktur dan perubahan organisasi, perencanaan termasuk perencanaan untuk suatu proses investasi yang efisien, kebijaksanaan staff, prestasi keuangan, termasuk manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran, akunting dan auditing.













E. Daftar Pustaka
• Rizal Alfi Malaranggeng, dkk, otonomi daerah prespektif teoritis dan praktis, Bayu indra Grafika bekerja FISIP Universitas muhammadiyah Malang Yogyakarta,2001 hlm 117.
• Alexander Abe, perencanaan daerah, memperkuat prakarsa rakyat dalam otonomi daerah, Lapera pustaka utama Yogyakarta,2001, hlm,26-27
• Sarudajang, birokrasi dalam otonomi daerah dan upaya untuk mengatasi kegagalannya, pustaka sinar harapan, Jakarta, 2003
• Muhammad syamsi, organisasi pemerintahan Indonesia, Jakarta bulan bintang 1988.


LEMBAR MOTIVASI
Hidup ini penuh arti dan sangat berharga.......semua yang telah kita jalani ini ada karena rahmat Illahi, semua berawal dari ketidakadaan walaupun telah digariskan takdir untuk kita, tapi itu semua tidak akan tercapai manakala kita tak berusaha untuk mengapainya…………..

Keberadaan seseorang disuatu tempat itu ada maknanya dan sudah ditentukan maka jangan putus asa tatkala kita berada pada tempat yang tidak kita inginkan karena semua itu pasti ada hikmahnya, jika kita memaksakan hal yang tidak semestinya maka ketidakbaikanlah yang akan kita tuai…………

Kunci pertolongan dan keberhasilan adalah sabar. Kunci kebahagiaan adalah taqwa. Kunci bertambahnya nikmat adalah bersyukur……………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar